(Renungan dari Bacaan: Ibrani 4:14-5:10; Mrk. 2:13-17)
Suatu kali saya bertanya kepada para peserta rekoleksi, “Siapa di antara kalian yang merasa dirinya orang berdosa, silahkan angkat tangan!” Ternyata, semua peserta mengangkat tangan. “Jadi, kalian semua adalah orang berdosa, maka mau ikut rekoleksi?” Sebagian dari mereka manggut-manggut. Lalu saya bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang sungguh-sungguh berdosa, silahkan angkat tangan?” Mereka memandang satu sama lain, dan sungguh mengagetkan, tidak seorang pun di antara mereka yang angkat tangan. Mereka memang umumnya orang-orang yang baik, aktivis dalam Gereja dan banyak melakukan karya amal. “Saya sangat sedih, Saudara-saudaraku”, sambung saya. “Sebab, Yesus tidak datang kepada kalian semua. Tidak seorang pun di antara kalian yang dituju oleh Yesus. Sebab, Yesus berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mrk. 2:17).
Secara umum setiap orang mengakui dirinya sebagai orang berdosa, karena ada pandangan bahwa manusia itu lemah. Tidak seorang pun bisa luput dari dosa. Sangatlah wajar bahwa manusia berdosa, bahkan dosa sudah menjadi bagian dari hidupnya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ia tidak berdosa, tentu ia akan dicap sombong, seperti Ayub. Akibatnya, kesadaran akan dosa, merasa diri “sungguh-sungguh” berdosa dan dalam keadaan tidak baik-baik saja dalam relasi dengan Allah, sangat kecil. Selain itu, orang menjadi sangat permisif dengan dosa dan berbuat dosa dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Bahkan sebaliknya, jika tidak berdosa justru malah tidak wajar. Secara tidak sadar ia mengatakan dalam dirinya, “yang berdosa itu manusia, bukan saya. Karena saya manusia, ya saya pasti berdosa”.
Kecilnya kesadaran bahwa saya sungguh-sungguh berdosa, melahirkan sikap sinis terhadap orang berdosa. Tanpa sadar, seseorang merasa dirinya baik dan mulai menghakimi orang yang dilihatnya berdosa. Kata-kata Yesus dalam Mrk. 2:17 mendorong kita untuk berefleksi dan menyadari bahwa kita sedang sakit. Kita memerlukan seorang tabib, yakni Yesus Kristus. Kita mempersilahkan bahkan mengundang Dia untuk datang ke rumah, membuka pintu hati kita, untuk memeriksa kita. Ketika seorang tabib datang ke rumah pasien, ia pertama-tama akan memeriksa si pasien. Ia memeriksa untuk mengetahui apa persis sakitnya agar bisa menyembuhkannya, bukan untuk menghakimi. Memang ada dokter yang aneh, ketika tahu pasiennya sakit diabet, ia memarahi pasiennya dan menuduhnya yang bukan-bukan. Yesus tentu bukan tabib seperti itu. Kita persilahkan ia datang untuk memeriksa kita, menunjukkan penyakit kita sehingga kita mengetahui obat penyembuhannya. Dia bisa datang dalam pelbagai cara, lewat sesama, lewat peristiwa, tetapi terutama lewat firman-Nya. Dia memeriksa kita melalui firman-Nya, firman “yang hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk sangat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup menilai pikiran dan niat hati kita”. Mari kita membuka hati kita, agar firman ini menerangi pikiran dan niat hati kita, sehingga kita sadar bahwa kita “sungguh-sungguh orang berdosa berdosa” yang membutuhkan Yesus yang akan menunjukkan apa yang harus kita buat dan hindari agar sembuh dan terhindar dari dosa.

Penulis
