Ikatan Perjanjian (24 Januari 2025)

(Renungan dari Bacaan Ibrani 8 : 6 – 13, Markus 3 : 13 – 19)

Konsep perjanjian bukanlah sesuatu yang asing bagi kita sebagai manusia. Saya kira kebanyakan dari kita pernah terlibat dan terikat dalam sebuah perjanjian. Entah itu pernikahan, jual-beli rumah, kontrak kerja, dan lain sebagainya. Dalam sebuah perjanjian biasanya ada hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian itu. Bila salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya, perjanjian itu dianggap wanprestasi, dan pihak yang lalai terhadap perjanjian itu akan menerima konsekuensi hukum. Perjanjian pun menjadi bercacat atau batal sama sekali.

Dalam pernikahan misalnya, kedua belah pihak harus 100% setia satu sama lain, baik tubuh, pikiran, dan perasaannya difokuskan hanya bagi pasangannya agar pernikahan itu menjadi berhasil. Setiap ketidaksetiaan kecil akan menjadi cacat yang dianggap mengingkari komitmen dan bisa menghancurkan pernikahan tersebut. Dalam Alkitab, Allah selalu menawarkan perjanjian kepada manusia. Allah mengajak manusia untuk masuk dalam perjanjian-Nya, di mana dalam perjanjian itu ada janji yang akan Allah penuhi, bila manusia mau melakukan apa yang Allah inginkan.

Dalam Perjanjian Lama, Allah berjanji akan memberkatinya Israel, melindunginya, membuatnya menjadi bangsa yang besar, dan mendiami negerinya dalam damai sejahtera, dengan syarat: mereka hanya menyembah TUHAN dan setia kepada segala ketetapan-Nya. Sebaliknya jika mereka ingkar terhadap perjanjian itu, mulai meninggalkan TUHAN dan melupakan Taurat-Nya, mereka akan menerima konsekuensinya, yaitu segala wabah penyakit, dikalahkan oleh musuh-musuhnya, dimiskinkan, dan dibuang ke negeri asing.

Dari sejarah bangsa Israel, kita tahu bahwa Israel tidak setia kepada perjanjian itu, sehingga perjanjian itu menjadi bercacat. Israel telah gagal dan mengingkari perjanjian itu. Lalu Allah membuat perjanjian yang baru, tidak lagi dengan bangsa Israel, tetapi ditawarkan bagi seluruh umat manusia. Dalam perjanjian baru ini, hukum Allah tidak lagi dituliskan di atas loh batu seperti yang Musa terima. Tetapi, Allah menuliskannya dalam hati umat-Nya, yaitu orang-orang yang bersedia masuk ke perjanjian yang baru ini.

Hal itu tidak berarti bahwa perjanjian baru tidak berlandaskan hukum sehingga umat perjanjian baru dapat hidup sesuka hatinya sendiri tanpa aturan. “Menuliskan dalam hati” bukan berarti tidak ada lagi hukum atau tatanan hidup bagi umat Allah. Tatanan itu tetap ada, tetapi tidak lagi tertulis dalam teks-teks yang mati seperti loh batu. Allah menuliskan kehendak-Nya dalam hati dan pikiran orang Kristen yang sejati, oleh Roh-Nya yang Kudus.

Menuliskan dalam hati, dan bukan lagi di loh batu, artinya ikatan perjanjian dengan Allah bukan lagi didasari hal-hal yang tampak atau lahiriah, bukan sekadar praktik agama secara eksternal di waktu-waktu tertentu, bukan sekadar setiap minggu ke gereja atau ambil bagian dalam tata layanan liturgi agama. Ikatan perjanjian yang baru adalah sebuah hubungan pribadi yang intim dengan Allah, yang dimulai oleh pendamaian dosa kita oleh Sang Pengantara kita satu-satunya, Yesus Kristus.

Karena perjanjian yang baru itu menekankan pelayanan yang internal dan menyeluruh, maka diperlukan perubahan hati untuk siap ditaburi benih firman, dan firman itu bertumbuh dalam hati sampai kehidupan orang percaya dapat sepikiran dan seirama dengan kehendak Allah. Perlu komitmen yang kuat untuk dapat mendengar dan mengikuti tuntunan dan terguran Roh Kudus yang lembut di dalam hati kita.

Jika kita tidak memiliki komitmen yang sungguh untuk terikat pada sebuah perjanjian, maka memenuhi janji menjadi sebuah keterpaksaan. Niat berserah diri hanya terjadi di saat keadaan sulit, terancam, dilanda masalah dan sakit penyakit, baru berjanji kepada Allah akan hidup suci karena ingin dilindungi. Umat Kristen yang dewasa seharusnya tidak manipulatif dan oportunis dalam berelasi dengan Allah, tapi dalam kasih dan ketulusan hati.

Karena itu untuk masuk dalam sebuah covenant Ilahi diperlukan komitmen segenap hati. Kurang dari itu artinya wanprestasi, seperti bangsa Israel yang mengingkari perjanjian Ilahi.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *