Menjadi yang Terbesar dengan Menjadi yang Terakhir (25 Februari 2025)

Renungan dari Bacaan Sirakh 2 : 1 – 11 dan Markus 9 : 30 – 37

Salah satu kesedihan seorang guru adalah ketika apa yang diajarkan kepada para muridnya tidak bisa dimengerti. Di mana letak kesalahannya: guru kurang pandai mengajar, atau murid-muridnya kurang cerdas? Bisa jadi kedua-duanya, atau topik yang dibahas sang guru tidak menarik minat para murid. Topik itu tidak menjawab kebutuhannya dan tidak sesuai dengan keinginannya. Itulah yang tampaknya terjadi dengan Yesus dan para murid. Ada jurang yang dalam antara pandangan Yesus dan pandangan para murid. Yesus berbicara tentang penderitaan, bahwa Anak manusia akan diserahkan dan dibunuh (Mrk. 9: 31), para murid malah berdebat tentang siapa yang menjadi terbesar di antara mereka. Mereka tidak mengerti perkataan Yesus tetapi tidak mau bertanya. Sebaliknya, ketika ditanya Yesus mereka diam saja. Benar-benar suatu situasi yang menyedihkan, karena terjadi gap yang terjal antara pandangan guru dan murid. Namun, Yesus tetap bersabar dalam menuntun mereka menuju kebenaran.

Para murid belum benar-benar mengenal Yesus dan memahami misi-Nya. Mereka masih memusatkan perhatian pada hal-hal duniawi, tentang menjadi terbesar, terkemuka, terhebat di mata manusia. Yesus tidak melarang mereka untuk menjadi yang pertama, bahkan sudah seharusnya mereka punya ambisi seperti itu. Ia hanya mau diluruskan konsep mereka tentang menjadi yang pertama dan menunjukkan cara yang tepat untuk menjadi yang pertama: yakni dengan menjadi yang terakhir, yang tiada lain adalah menjadi pelayan dari semuanya.

Apakah kekhasan cara hidup seorang pelayan? Kita perhatikan apa yang dilakukan seorang pelayan di restoran. Pertama, ia terbuka menerima dan mempersilahkan seseorang masuk ke restorannya, siapa pun dia. Ia tidak pilih-pilih, atau menginterogasi orang terlebih dahulu: kamu punya uang atau tidak? Setelah mempersilahkan tamu duduk, ia menyodori menu makanan, dan setelah mengisinya, ia mengantarkan makanan yang dipesan. Seluruh perhatiannya terpusat kepada tamu yang dia layani: terhadap kebutuhan tamu dan memenuhi kebutuhannya. Ia tidak perdulu dengan dirinya sendiri, apakah ia sudah makan atau tidak. Tidak pernah terdengar seorang peayan berkata, “Sabar dulu, saya sendiri belum makan. Setelah saya makan, baru kalian”. Jika berani berkata demikian, bisa-bisa ia langsung dipecat majikannya.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *