Bacaan: Ulangan 30:15-20; Lukas 9:22-25. “Jika seseorang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, dan mengikut Aku”(Luk. 9:23) |
Setelah membaca syarat-syarat mengikuti Yesus yang ditulis oleh Lukas, saya terhenyak, dan berkata dalam hati, “Mengapa jalan mengikuti Yesus sepertinya sulit sekali dan bertentangan dengan cara manusia meraih kebahagiaan?” Orang berusaha sebisa mungkin menghindari penderitaan, Yesus malah meminta pengikut-Nya memikul salib. Orang mengejar pengakuan dirinya, tetapi Ia malah menuntut pengikut-Nya menyangkal diri. Tidak mengherankan bahwa tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mau mengikuti Dia. Bagaimana saya bisa memahami jalan yang ditunjukkan Yesus ini sebagai jalan yang benar?
Sesungguhnya jalan ini adalah jalan menuju hidup sejati, jalan kembali ke manusia sejati, yakni gambar Allah (Kej. 1:26-27). Dosa, keserakahan dalam segala bentuknya telah membuat gambar Allah dalam diri manusia bukan saja kabur tetapi juga rusak, berlepotan. Gambar Allah yang penuh kasih, berbelaskasih, dan pemurah, berubah menjadi gambar ilah yang egois, serakah, dan pemarah. Semakin banyak kita berdosa, semakin jauh kita dari gambar Allah, dan semakin jauh pula dari kebahagiaan sejati karena terjerat dalam kebahagiaan palsu, yang instan dan sementara.
Di dalam kebahagiaan palsu, kebahagiaan diletakkan pada harta, kekuasaan, pengakuan, dan pada ketenaran, pujian, kehormatan, dan kenikmatan yang semu dan hanya sesaat. Itulah yang dikejar manusia, dan itulah yang mewarnai gambarnya. Yesus mau mengembalikan kita ke hidup yang sejati, ke gambar sejati. Untuk itu, semua noda, kotoran yang menutupi dan merusak wajah Allah dalam diri kita, harus dibersihkan. Noda itu terutama cara pikir dan keinginan sesat seperti di atas. Pembersihan ini mengandaikan kesiapsediaan untuk menanggung sakit yang luar biasa, kesiapan untuk menderita.
Bentuk penderitaan pertama adalah menyangkal diri, maksudnya bukan tidak menerima diri apa adanya, melainkan menyangkal apa yang bukan diri saya yang sebenarnya, membuang semua yang merusak gambar Allah, terutama pikiran yang sesat. Misalnya, selama ini saya berpikir bahwa kebahagiaan terletak kalau saya memiliki harta sebanyak-banyaknya, dan karena itu saya berjuang keras dengan segala cara, halal ataupun tidak, untuk merealisirnya. Mengikuti Yesus, berarti saya harus menyangkal semua itu, saya harus mengubah cara pikir saya: “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” (Luk. 9:25). Lalu, mulai bertindak dengan cara pikir yang baru: mengganti keserakahan dan sikap egois dengan kemurahan hati dan sosial, mengikuti keinginan Tuhan meskipun harus meninggalkan keinginan diri sendiri.
Suatu hari saya bertemu dengan seorang mantan murid yang sangat pandai. Dia mendapat beasiswa penuh untuk studi di Amerika. Terbayang uang saku yang jauh lebih dari cukup yang akan diperolehnya. Namun, ternyata ia tidak jadi pergi ke Amerika, karena harus merawat mamanya. Papanya sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Tidak tampak raut duka sedikit pun di wajahnya ketika ia menceritakan semuanya itu. Ia berhasil menyangkal egonya, kenyamanan pribadi, dan memilih untuk hidup susah merawat mamanya. “Saya bahagia bisa menemani Mama di akhir-akhir hidupnya. Seandainya saya pergi ke Amerika, semua itu tidak akan saya alami dan saya akan dihantui rasa sesal yang tidak berkesudahan”, katanya penuh bangga dan bahagia. Pilihan untuk merawat mamanya merupakan suatu bentuk penyangkalan diri yang mendatangkan kebahagiaan yang tidak lenyap dalam sesaat.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering dihadapkan pada suatu pilihan. Biasanya pilihan yang menuntut penyangkalan diri dan kesiapsediaan untuk menderita justru pilihan yang tepat dan mendatangkan kebahagiaan sejati. Musa berkata kepada orang Israel, “Pada hari ini: Kuperhadapkan kepadamu kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan supaya kamu hidup” (Ul. 30:19). Kata-kata yang sama ditujukan kepada kita. Marilah kita memilih kehidupan, meski untuk kita harus kehilangan nyawa, harus menyangkal kenyamanan hidup kita.
Penulis
