Renungan dari Bacaan: Imamat 19 : 1 – 2. 11 – 18; Matius 25: 31 – 46 “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, Akulah TUHAN” (Im.19:16) |
Bacaan dari Imamat 19:1-2.11-18 meminta umat Israel untuk menjadi kudus seperti Tuhan Allah adalah kudus. Kekudusan ini diraih melalui larangan untuk melakukan perbuatan negatif: Mencuri, berbohong, berdusta, memeras, merampas, curang, fitnah, membenci, menuntut balas, menaruh dendam; tetapi kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Bacaan dari Matius 25:31-46 memberikan kriteria bagaimana manusia bisa masuk ke dalam kerajaan surga melalui Penghakiman Terakhir: Memberi makan pada orang yang lapar, minum pada orang yang haus, tumpangan pada orang asing, pakaian pada orang telanjang, melawat orang yang sakit, mengunjungi orang di penjara.
Kata kuncinya adalah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, yang diulangi oleh Yesus (Mat. 22: 39) sebagai hukum kedua setelah hukum yang pertama dan utama (Mat. 22: 37): “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”
Untuk menjadi kudus dan masuk ke dalam kerajaan Allah orang perlu menahan diri dari perbuatan negatif dan melakukan perbuatan positif kepada sesamanya, bukan hanya dalam hal-hal yang disebutkan di atas, yang hanya merupakan contoh saja.
Matius memberikan kunci rahasia masuk surga: melayani kebutuhan sesama yang sedang mengalami kekurangan dalam hidupnya. Berarti hidup yang diisi dengan kegiatan pelayanan akan mengantar kita kepada kerajaan surga. Kerajaan surga adalah Allah, yang adalah kasih, meraja. Jika kita melakukan pelayanan dengan kasih di dunia ini, kita sudah berada dalam kerajaan surga. Kita telah mengalami “hidup surgawi” saat ini, tanpa perlu menunggu saat badan kita mati dan roh kita masuk ke keabadian.
Siapakah yang berkekurangan dan perlu dilayanai? Semua orang. Tidak ada seorang pun yang bisa memenuhi semua kebutuhan fisik, jiwa, dan rohaninya secara mandiri.
Kita bisa melakukan pelayanan secara pasif kepada sesama dengan mengekang diri dari melakukan perbuatan yang merugikan sesama seperti larangan-larangan dalam kitab Imamat. Namun, kita juga bisa lebih melakukan banyak pelayanan secara aktif melalui perbuatan pro-aktif, berinisiatif merespon keadaan sesama di sekitar kita. Kebutuhannya bisa bermacam-macam, sangat dinamis dan kontekstual (tergantung situasi dan kondisi).
Pelayanan ini bisa berupa karitatif dan pergi keluar dari lingkaran kehidupan kita. Misalnya, pergi ke kolong jembatan mengunjungi orang miskin yang tinggal di sana, atau ke yayasan panti asuhan atau panti jompo, dan membantu memenuhi kebutuhan fisik dan emosional mereka. Mereka ini adalah orang yang secara kasat mata membutuhkan perhatian dan pelayanan kita.
Banyak hal bisa dan perlu dilakukan pada orang-orang yang dekat dengan kita, yang “tampaknya tidak berkekurangan”, tetapi sebenarnya mempunyai kebutuhan “tersembunyi/atau tidak terlalu tersembunyi”, seperti contoh di bawah ini.
Pertama, teman yang jomblo dan rindu mendapatkan pasangan hidup tetapi tidak tahu bagaimana caranya atau belum berhasil mendapatkannya. Kita bisa memperkenalkan dua jomblo lain jenis yang mungkin cocok; memberikan tips bagaimana bisa menarik hati lawan jenis.
Kedua, anak teman kerja yang sering ditinggal di rumah sendirian tanpa perhatian karena teman kerjanya sering lembur, memenuhi target kerja perusahaan. Dalam hal ini kita bisa mengusulkan pada perusahaan untuk menambah tenaga kerja bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai target/ membantu teman kerja dengan cara kerja yang lebih efisien.
Ketiga, orang-orang yang kesepian, seperti orang tua atau tetangga yang sudah lanjut usia dan membutuhkan teman bicara. Dalam hal ini kita bisa mengunjunginya secara berkala dan bergantian dengan saudara/tetangga yang lain.
Keempat, orang-orang yang kesepian dalam keramaian, seperti orang yang datang ke gereja sendiri dan rindu untuk ikut terlibat dalam kegiatan gereja namun tidak mengenal seorang pun untuk mengajaknya. Dalam hal ini kita bisa memperkenalkan diri dan kelompok-kelompok dalam gereja.
Kelima, orang-orang yang ramai di luarnya tetapi rohaninya sepi, seperti orang yang aktif dalam kegiatan gereja ataupun kegiatan hidup lainnya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya tumbuh secara rohani. Dalam hal ini kita bisa mengajak dia berbicara secara sensitif dari hati ke hati dan berdiskusi tentang cara-cara untuk tumbuh secara rohani yang cocok baginya.
Marilah mengasah ketajaman mata hati kita untuk mengenali kebutuhan hakiki seorang manusia, mempelajarinya, dan mengamati orang-orang di sekitar kita, lalu secara pro-aktif menjalin jembatan komunikasi dalam usaha memenuhi kebutuhan sesama kita.
Ketika Yesus menyambutmu di pintu surga dan menanyakan kepadamu, apakah yang sudah kaulakukan kepada-Ku pada masa hidupmu di dunia, semoga kita sudah siap menjawabnya dengan baik.
Penulis

