Bacaan: Ulangan 4:1.5-9; Matius 5:17-19 “Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang akan menjadi hikmatmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa” (Ul. 4:6). |
Perikop Ulangan 4:1.5-9 tidak mudah dipahami orang zaman ini. Apalagi bila tidak mempunyai gambaran geografis dan konteks zaman itu, perikop ini akan dengan mudah dipahami secara keliru. Kesulitan memahaminya tentulah tidak akan membuat kita mengambil jalan pintas seperti menghindari titik, koma. Pesan yang perlu dipetik dari perikop ini adalah kesetiaan Tuhan memberikan tanah yang dijanjikan Tuhan.
Perikop Mat. 5:17–19 mengingatkan pesan Yesus yang didengar oleh para murid pertama mengenai pemenuhan hukum Taurat dan kitab para nabi. Suatu tanda kesetiaan Tuhan yang mengambil wujud hidup manusia yang penuh kerapuhan, kecuali dalam hal dosa. Kesetiaan Yesus ditunjukkan sampai kesediaan mengalami penghinaan, penyaliban, dan mati di kayu salib. Keallahan Yesus tidak membuat Yesus menjalani jalan pintas menuju ke kemuliaan ilahi yang menjadi haknya.
Pada masa retret agung ini, kedua perikop yang tidak mudah dicerna ini menjadi bahan renungan. Keduanya memunculkan undangan dan pertanyaan bagaimana kata setia dalam hidup kita. Umat Israel sudah menunjukkan kesetiaannya yang memang menjadi inspirasi kerapuhan manusiawi. Dalam Perjanjian Lama kita menemukan bagaimana ketidaksetiaan umat Israel, yang dengan mudah membuat lembu emas sebagai idola. Atau bagaimana kesetiaan raja yang paling bijaksana dalam sejarah Perjanjian Lama terhadap Allah?
Merenungkan perikop injil ini pun mengingatkan kerapuhan para murid pertama. Bila belajar sejarah gereja, kita juga menemukan ketidaksetiaan para pemimpin Gereja, bukan hanya pengikut-pengikut Kristus. Kasus-kasus besar yang akhirnya melahirkan adanya skisma, atau bahkan inkuisisi.
Sampai zaman ini undangan untuk tetap setia masih berlaku. Apakah aku setia pada janji baptisku? Apakah aku setia pada janji perkawinanku? Atau apakah aku setia pada janji jabatanku?
Dua pekan lalu, saya sempat membaca “Akulah Yudas Ke-13, Autobiografi Romo Carolus OMI” tulisan M. Budi Sardjono dan Sutriyono Robert yang diterbitkan oleh Obor. Dalam autobiografi yang singkat dan tipis ini, kedua penulis menuliskan pengalaman hidup Rm. Carolus OMI yang unik, aneh, jenaka menurut Andy F. Noya, atau dianggap menjadikan suatu desa terpencil menjadi desa pelopor yang punya jalan darat ke wilayah lain.
Membaca buku tentang romo Carolus OMI ini seolah membaca Kitab Suci yang ditulis secara baru. Bagaimana romo Carolus OMI setia pada kaul dan pelayanannya? Bagaimana Romo Carolus OMI setia pada keyakinannya bahwa bukan beliaulah hakim, pun ketika 4 mandornya berlaku tidak jujur? Kerendahan hatinya menyentuh sebagai bagian ungkapan kesetiaan pada janji baptis dan janji imamatnya. Dengan hidupnya, romo Carolus setia menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang kelaparan, orang yang dipenjara, orang yang sakit, orang yang tidak jujur, orang yang tidak punya rumah, orang yang tinggal di wilayah terpencil, orang yang mengalami gangguan jiwa, anak yang berkebutuhan khusus, mengalami tindak kekerasan dan orang-orang yang kelaparan.
Perikop kitab suci tidak lagi menjadi bahan bacaan, bahan analisis, bahan renungan. Perikop Kitab Suci dengan setia dibadankan, dijadikan bagian kehidupan sehari-hari. Perikop yang dihidupkan dengan kemampuan manusiawi, tidak hanya sekadar sebagai janji saja.
Dalam situasi krisis multi dimensi ini, kita semua diundang tetap setia menjadi wajah-wajah Allah yang hidup. Kehadiran yang menggembirakan. Kehadiran yang menyemangati dan memberi terang. Kehadiran yang memberikan harapan masa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih damai, dan lebih sejahtera bagi semua orang.
Penulis

