Kita Punya Janji (14 Juni 2025)

Renungan dari bacaan 2 Kor 5 : 14 – 21 dan Matius 5 : 33 – 37
“Jika ya, hendaklah kamu katakan: Ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: Tidak. Apa yang lebih
daripada itu berasal dari si Jahat.” (Mat 5: 37).

Dalam dunia kuno, sumpah digunakan untuk mengundang Allah atau dewa sebagai saksi, dan Allah atau dewa akan membalas jika kesasian yang diminta dari Dia ternyata atas sesuatu yang palsu, suatu kebohongan. Pada masa itu orang dituntut untuk bersumpah karena orang seringkali tidak kosisten dengan janji yang diucapkannya. Orang bersumpah dengan segala macam hal, tanpa menyebut Tuhan untuk bersaksi bahwa kata-kata mereka benar. Misalnya mereka bersumpah demi langit atau demi kepalanya. Jika mereka melanggar sumpah mereka berdasarkan hal-hal yang lebih kecil ini, setidaknya mereka tidak mencemarkan Tuhan. Mereka tidak berani mempertanggung jawabkan sumpahnya kepada Tuhan.

Yesus melarang para murid-Nya bersumpah: “Janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelaii rambut pun” (Mat. 5:36). Kebanyakan orang Yahudi di Palestina memiliki rambut hitam atau gelap, kecuali mereka yang lebih tua: rambut mereka mulai memutih. Dengan kata lain, penuaan itu berada di bawah kendali Tuhan dan hal itu merupakan salah satu contoh bahwa segala sesuatu di bawah kendali Tuhan.
Yesus mengajarkan, jika orang memiliki integritas, sumpah tidak diperlukan lagi. Ia menekankan bahwa segala sesuatu yang disumpah pada akhirnya menjadi milik Tuhan. Dari sebab itu, orang yang bersumpah dituntut untuk menjadi sebaik kata-kata mereka, menepati janji mereka. “Jika ya, … katakan: Ya; jika tidak, … katakan: Tidak” (Mat. 5: 37). Ya ya, tidak tidak. Pengulangan kata “ya” (atau “tidak”) menekankan bahwa hal itu benar, dapat dipercaya dan dipegang.

Kata yang diucapkan seseorang tidak boleh berbeda dari kenyataan atau kebenaran yang diketahui, atau dengan niat yang ada di dalam hatinya. Murid-murid Yesus harus memberi kesaksian sesuai dengan kenyataan, tanpa perlu memperkuat kebenaran kesaksiannya dengan sumpah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi murid Yesus berarti menjadi manusia yang berintegritas, utuh luar dalam. Orang yang berintegritas itu jujur, tulus, dan setia, tidak “mencla mencle”. Dari sikap integritas ini mengalir hati yang ramah, sikap berbelas kasih dan sabar, serta cara hidup yang menebarkan kedamaian.

Bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen? Sudahkah kita menunjukkan diri kita sebagai orang yang berintegritas ataukah kita penuh dengan tipu muslihat. Pernahkah kita berjanji dan mengabaikan janji itu? Mungkin saatnya kita mengenang janji baptis yang pernah kita ucapkan. Misalnya, sejauh mana kita benar-benar percaya kepada Allah dan menolak setan dengan segala bentuk kejahatannya? 

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *