Renungan hari ini dari bacaan Injil Lukas 7:31-35. “Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.” (Luk 7:35) |
Pada hari ini, kita merenungkan Injil Lukas 7:31-35, di mana Yesus menggunakan sebuah perumpamaan yang kuat dan tajam untuk menggambarkan sikap orang-orang pada zamannya. Yesus membandingkan mereka dengan anak-anak yang bermain di pasar. Anak-anak ini mencoba mengajak teman-temannya untuk menanggapi dua situasi yang berbeda: perayaan dengan tiupan seruling dan dukacita dengan kidung duka. Namun, respons yang mereka terima selalu sama: tidak ada tanggapan. Baik saat diajak menari maupun menangis, teman-temannya tetap diam. Perumpamaan ini bukan sekadar cerita ringan, melainkan sebuah cerminan mendalam tentang ketidakmauan manusia untuk menanggapi panggilan Allah. Yesus menunjukkan bagaimana sikap acuh tak acuh dan keengganan untuk berubah telah menjadi masalah yang mengakar kuat. Panggilan untuk sukacita atau dukacita, untuk perayaan atau pertobatan, semuanya ditolak mentah-mentah. Sikap ini menjadi penghalang utama bagi mereka untuk menerima kebenaran dan hikmat yang datang dari Allah. Perumpamaan ini mengingatkan kita betapa seringnya kita juga bersikap demikian. Kita mungkin mendengarkan firman Tuhan, tetapi kita tidak mengizinkannya untuk mengubah hati dan hidup kita. Kita mungkin melihat bukti-bukti kasih dan kuasa Allah, tetapi kita tetap memilih untuk bergeming dalam kenyamanan dan kebiasaan kita sendiri.
Yesus kemudian mengaplikasikan perumpamaan ini secara langsung pada pengalaman Yohanes Pembaptis dan diri-Nya sendiri. Yohanes datang dengan cara hidup yang asketis, tidak makan roti dan tidak minum anggur. Ia hidup dalam kesederhanaan ekstrem sebagai tanda panggilan pertobatan yang radikal. Namun, bukannya dihargai, ia malah dituduh kerasukan setan. Masyarakat menolak pesannya karena mereka tidak suka dengan cara Yohanes yang menuntut pengorbanan dan perubahan mendasar. Sebaliknya, ketika Yesus datang, Ia hidup dengan cara yang berbeda. Ia makan dan minum, bergaul dengan banyak orang, termasuk para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Namun, lagi-lagi, masyarakat menolak-Nya. Mereka menuduh-Nya sebagai pelahap dan peminum, sahabat orang berdosa. Reaksi ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah pada cara pesan itu disampaikan, melainkan pada ketidakmauan hati untuk menerima pesan itu sendiri. Tidak peduli apakah panggilan itu datang dalam bentuk kesederhanaan Yohanes atau dalam bentuk pergaulan Yesus, mereka akan selalu menemukan alasan untuk menolak. Ini adalah sindiran tajam dari Yesus terhadap sikap manusia yang mencari-cari kesalahan daripada mencari kebenaran. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak menginginkan pertobatan; mereka hanya ingin membenarkan diri sendiri.
Permenungan kita membawa pada pertanyaan esensial: mengapa orang-orang ini begitu menolak? Jawabannya terletak pada kekerasan hati dan kebenaran diri. Mereka telah membangun dinding-dinding tinggi di sekitar hati mereka. Mereka terlalu nyaman dengan cara hidup mereka, dengan pemahaman agama mereka sendiri, dan dengan status sosial yang mereka miliki. Menerima Yohanes berarti mereka harus bertobat dan mengakui dosa-dosa mereka. Menerima Yesus berarti mereka harus meruntuhkan batasan-batasan sosial dan menerima kasih karunia Allah yang melampaui aturan-aturan manusia. Sikap penolakan ini adalah wujud dari keangkuhan rohani. Mereka merasa lebih tahu dari Allah. Mereka lebih suka menciptakan Tuhan dalam bayangan mereka sendiri daripada menerima Tuhan sebagaimana Dia telah menyatakan diri-Nya. Inilah yang Yesus tegur dengan keras. Ia menunjukkan bahwa mereka tidak menolak Yohanes atau Diri-Nya, tetapi mereka menolak hikmat Allah. Hikmat ini adalah kebenaran yang datang dari surga, yang menuntut kerendahan hati dan keterbukaan. Itulah mengapa Yesus menutup perumpamaan-Nya dengan pernyataan yang begitu penting: “Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.”
Pernyataan terakhir ini adalah kunci dari seluruh perikop. Hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya. Ini bukan berarti hikmat membutuhkan pengakuan kita untuk menjadi benar, melainkan bahwa orang-orang yang tulus dan rendah hati akan melihat kebenaran hikmat tersebut dan membenarkannya melalui respons mereka. Mereka yang menanggapi panggilan Yohanes untuk bertobat dan panggilan Yesus untuk mengikuti-Nya adalah orang-orang yang telah memilih untuk merangkul hikmat ilahi. Mereka tidak mencari-cari alasan untuk menolak; sebaliknya, mereka mencari cara untuk menanggapi dengan iman dan ketaatan. Oleh karena itu, renungan ini menjadi panggilan bagi kita semua. Apakah kita seperti anak-anak yang duduk di pasar, yang menolak untuk menari ketika seruling ditiup dan menolak untuk menangis ketika kidung duka dinyanyikan? Ataukah kita seperti orang-orang yang berani membenarkan hikmat Allah dengan membuka hati kita, menerima pertobatan yang radikal, dan mengikuti Yesus dengan segala konsekuensinya? Marilah kita berdoa agar Tuhan melembutkan hati kita, sehingga kita tidak lagi mencari-cari alasan untuk menolak-Nya, tetapi dengan sukacita dan keberanian menerima dan membenarkan hikmat-Nya dalam setiap aspek hidup kita.
Penulis

