Renungan hari ini dari bacaan Yunus 1:1-17; 2:10; Lukas 10:25-37. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk 10: 27) |
Setiap hari kita berjumpa dengan banyak orang. Ada yang kita kenal, ada juga yang asing bagi kita. Namun, dalam Injil Lukas 10:25-37, Yesus mengingatkan kita lewat perumpamaan Orang Samaria yang baik hati: jangan membatasi kasih hanya kepada orang yang kita kenal atau sukai. Kasih sejati melampaui batas perbedaan. Kasih itu nyata dalam kepedulian terhadap sesama yang membutuhkan.
Kisah dalam Injil ini dimulai ketika seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus: “Siapakah sesamaku?” Pertanyaan ini seakan sederhana, tetapi sebenarnya ingin membatasi siapa yang pantas menerima kasih dan siapa yang tidak. Yesus lalu menjawab dengan perumpamaan tentang seorang yang jatuh ke tangan penyamun. Ia dipukuli, dirampok, dan ditinggalkan hampir mati di pinggir jalan.
Ada tiga orang yang lewat. Pertama, seorang imam. Kedua, seorang Lewi. Keduanya melihat orang yang terluka, tetapi memilih lewat dari sisi lain. Mungkin mereka sibuk, mungkin takut menjadi najis, atau tidak mau repot. Alasan bisa bermacam-macam. Namun, intinya: mereka tidak peduli.
Kemudian datanglah seorang Samaria. Orang Samaria pada zaman itu dipandang rendah dan dibenci oleh orang Yahudi. Tetapi, justru dialah yang berhenti, tergerak hatinya, lalu menolong orang asing yang menderita itu. Ia membersihkan lukanya, mengangkatnya ke atas keledai, membawanya ke penginapan, dan bahkan membayar biaya perawatan. Ia tidak bertanya siapa orang itu, dari mana asalnya, atau agamanya apa. Yang ia lihat hanyalah: ada sesama manusia yang sedang membutuhkan pertolongan.
Di sinilah letak pesan utama Yesus. Kasih sejati tidak boleh dibatasi oleh garis kelompok atau kepentingan diri. Sesama bukan hanya saudara sedarah atau sahabat dekat, melainkan siapa saja yang Tuhan hadirkan di depan kita — terutama mereka yang sedang kesusahan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, ada banyak kesempatan untuk menjadi “Orang Samaria yang baik hati”. Bisa dalam hal kecil: menolong tetangga yang kesulitan, menemani teman yang sedang sedih, berbagi makanan dengan orang lapar, atau sekadar menyapa dengan ramah orang yang biasanya diabaikan. Kasih persaudaraan yang sederhana ini justru menjadi tanda kehadiran Kristus di tengah dunia.
Tantangannya memang besar. Seringkali kita sibuk dengan urusan sendiri, takut repot, atau hanya peduli pada orang-orang yang kita kenal. Namun, Yesus mengingatkan: kasih tidak boleh eksklusif. Kasih harus terbuka, peduli, dan berani berkorban.
Saudara-saudari yang terkasih, Yesus menutup perumpamaan ini dengan sebuah pertanyaan: “Siapakah sesamaku?” Jawabannya jelas: sesama adalah siapa saja yang membutuhkan kasih dan perhatian kita. Mari kita belajar dari Orang Samaria yang baik hati. Jangan hanya lewat dan berpura-pura tidak melihat, tetapi bukalah hati untuk peduli. Dengan begitu, kasih persaudaraan sungguh nyata dalam hidup kita sehari-hari.
Semoga kita semua dimampukan untuk mengasihi bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan yang tulus. Amin.
Penulis


satu Respon
**mind vault**
mind vault is a premium cognitive support formula created for adults 45+. It’s thoughtfully designed to help maintain clear thinking