Renungan hari ini dari bacaan Luk 17:11-19 ; 2 Raj 5: 14-17. “Lalu Ia berkata kepadanya: ‘Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.’ (Lukas 17:19) |
Salam sejahtera dalam Kristus. Hidup sering kali membuat kita sibuk mengejar banyak hal kesuksesan, pengakuan, dan kebahagiaan. Namun di tengah kesibukan itu, jarang kita berhenti sejenak untuk berkata, “Terima kasih, Tuhan, atas hidup yang telah Engkau anugerahkan.” Tidak jarang pula, kita justru lebih sibuk membandingkan diri dengan orang lain dan merasa kurang beruntung. Renungan hari ini mengajak kita merenungkan kembali makna hidup dengan hati yang bersyukur melalui dua kisah dalam Kitab Suci, yaitu kisah Naaman yang disembuhkan dari kusta dan kisah sepuluh orang kusta yang disembuhkan oleh Yesus.
Naaman adalah seorang panglima perang yang hebat, kaya, dan terhormat. Namun di balik segala keberhasilannya, ia menderita penyakit kusta penyakit yang tidak hanya merusak tubuh, tetapi juga menimbulkan aib sosial. Melalui perintah Nabi Elisa, Naaman diminta untuk mandi tujuh kali di Sungai Yordan. Awalnya ia ragu, bahkan merasa hal itu tidak masuk akal. Namun ketika ia taat, mujizat terjadi: kulitnya menjadi bersih seperti kulit bayi. Tindakan pertama Naaman setelah sembuh bukanlah berpesta atau menyombongkan diri, melainkan kembali kepada Elisa untuk mengucapkan terima kasih dan mengakui kuasa Allah Israel. Ia bahkan meminta untuk membawa pulang tanah Israel sebagai tanda bahwa ia hanya akan beribadah kepada Tuhan yang sejati. Dari kisah ini, kita belajar bahwa syukur sejati lahir dari kesadaran akan karya Allah dalam hidup kita. Segala keberhasilan, kesehatan, dan kesempatan bukan semata hasil usaha manusia, melainkan buah dari penyertaan Tuhan. Ketika kita menyadari hal ini, hati kita akan terarah kepada Tuhan, bukan kepada kebanggaan diri.
Dalam Injil, Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta yang datang memohon belas kasih-Nya. Namun hanya satu orang yang kembali untuk mengucapkan terima kasih seorang Samaria, bangsa yang sering dianggap rendah oleh orang Yahudi. Yesus pun bertanya, “Bukankah kesepuluhnya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?” (Luk 17:17). Pertanyaan ini menggambarkan kerinduan Yesus untuk melihat hati yang tahu berterima kasih. Bagi Yesus, syukur bukan sekadar sopan santun spiritual, melainkan wujud iman yang hidup. Karena itu Ia berkata kepada orang Samaria itu: “Imanmu telah menyelamatkan engkau.” Kesembuhan fisik yang diterima kesepuluh orang itu adalah anugerah besar, tetapi hanya satu yang menerima keselamatan rohani, karena ia kembali kepada Sumber Berkat dengan hati penuh syukur.
Dua kisah ini mengajarkan bahwa bersyukur adalah sikap batin yang mengubah cara kita memandang hidup. Naaman dan orang Samaria tidak lagi memusatkan diri pada penderitaan masa lalu, tetapi pada kebaikan Tuhan yang telah mereka alami. Dalam hidup kita pun, syukur menolong kita beralih dari pikiran “apa yang belum saya miliki” menjadi “apa yang telah Tuhan anugerahkan.” Kesehatan, keluarga, pekerjaan, teman, bahkan kesempatan untuk bernafas hari ini adalah berkat yang patut kita syukuri. Rasa syukur yang sejati tidak berhenti pada ucapan, tetapi terwujud dalam tindakan. Orang yang bersyukur adalah orang yang rendah hati, yang tahu bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan. Dengan demikian, syukur melahirkan kerelaan untuk berbagi, melayani, dan menghormati sesama. Hati yang bersyukur juga menunjukkan iman yang hidup iman yang menyadari bahwa hidup ini sepenuhnya berada dalam tangan Tuhan. Di sanalah kita menemukan damai sejahtera dan keselamatan yang sejati.
Dalam dunia modern yang serba cepat dan kompetitif, mudah bagi kita untuk kehilangan rasa syukur. Media sosial, tekanan hidup, dan perbandingan diri sering kali membuat kita merasa kurang. Namun bersyukur adalah pilihan sadar untuk melihat kebaikan Tuhan di setiap situasi. Mari kita jadikan syukur sebagai gaya hidup rohani: mengucap syukur dalam doa setiap hari, bahkan untuk hal-hal sederhana; menyatakan syukur melalui pelayanan dan kepedulian terhadap sesama; serta merayakan setiap keberhasilan dengan kembali kepada Tuhan, bukan hanya dengan pesta, tetapi dengan persembahan hati yang tulus. Dengan demikian, kita tidak akan menjadi seperti sembilan orang yang menikmati berkat lalu melupakan Pemberinya, tetapi menjadi seperti orang Samaria yang kembali kepada Tuhan dan menerima keselamatan sejati.
Marilah kita bertanya kepada diri sendiri: apa satu hal yang sering saya lupakan untuk disyukuri dalam hidup sehari-hari? Bagaimana saya dapat mengekspresikan rasa syukur saya kepada Tuhan secara nyata dalam minggu ini? Kiranya pertanyaan ini menuntun kita untuk kembali memiliki hati yang sadar akan kasih Tuhan.
Ya Tuhan, ajarlah kami untuk memiliki hati yang senantiasa bersyukur. Dalam setiap keberhasilan maupun kesulitan, semoga kami selalu melihat tangan-Mu yang bekerja. Jadikanlah hidup kami ungkapan syukur yang hidup bagi kemuliaan-Mu. Amin.
Penulis


satu Respon
**mind vault**
mind vault is a premium cognitive support formula created for adults 45+. It’s thoughtfully designed to help maintain clear thinking