Tamar dan Tradisi Levirat
Dalam Kejadian 38:1–30, kita menemukan kisah Tamar yang berhadapan dengan tradisi kuno dan ketidakadilan sosial yang kompleks. Tamar awalnya dinikahkan dengan Er, anak sulung Yehuda. Namun, Er melakukan kejahatan di mata Tuhan, sehingga Tuhan menghukumnya dengan kematian.
Sesuai dengan tradisi levirat — sebuah kewajiban sosial dan keagamaan di zaman itu — bila seorang pria meninggal tanpa meninggalkan keturunan, saudara laki-lakinya harus menikahi jandanya untuk melahirkan anak yang akan meneruskan nama dan warisan almarhum. Ini bukan sekadar urusan keluarga, tetapi bagian penting dari menjaga garis keturunan dan hak milik dalam komunitas Israel.
Karena itu, Yehuda menyerahkan anak keduanya, Onan, kepada Tamar untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Namun Onan dengan sengaja mengkhianati tanggung jawabnya. Ia memang melakukan hubungan dengan Tamar, tetapi ia menghindari kehamilan karena tidak mau anak yang lahir menjadi ahli waris Er, kakaknya. Tindakannya ini menunjukkan ketidaktaatan terhadap hukum Tuhan dan penghinaan terhadap hak Tamar. Sebagai akibatnya, Tuhan menghukum Onan dengan kematian.
Setelah dua anaknya mati berturut-turut, Yehuda mulai dikuasai ketakutan. Ia tidak lagi melihat masalah ini sebagai pelanggaran terhadap hukum ilahi, tetapi sebagai ancaman terhadap kelangsungan keluarganya sendiri. Ia khawatir anak ketiganya, Syela, juga akan mengalami nasib serupa jika dinikahkan dengan Tamar.
Dengan alasan bahwa Syela masih terlalu muda, Yehuda memutuskan mengirim Tamar kembali ke rumah ayahnya, menjanjikan bahwa ia akan dipanggil kembali ketika Syela sudah dewasa. Namun, dalam hatinya, Yehuda tidak berniat memenuhi janji itu. Ia memilih menjaga Syela tetap aman daripada menjalankan kewajibannya terhadap Tamar. Janji palsu ini menjadi bentuk ketidakadilan lain yang harus Tamar hadapi: ia tidak hanya kehilangan suami dan perlindungan, tetapi juga haknya untuk melanjutkan garis keturunan keluarga.
Tamar: Keberanian Melawan Ketidakadilan

Tamar tidak menyerah pada ketidakadilan. Ia tahu haknya berdasarkan tradisi. Ia juga sadar risikonya, bahwa tindakannya bisa berujung pada hukuman mati dan kehinaan. namun ia tetap memilih bertindak.
Tamar menyusun strategi berani. Ia menyamar sebagai pelacur untuk menuntut haknya dari Yehuda sendiri, tanpa Yehuda mengetahui identitasnya. Ketika akhirnya kebenaran terungkap, Yehuda mengakui:
“Dia lebih benar daripada aku.” (Kejadian 38:26)
Tamar membuktikan bahwa keberanian memperjuangkan kebenaran meski melalui jalan berliku dan berisiko membawa pembenaran, bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di hadapan Allah.
Melangkah dengan Berani

Hari ini, dalam semangat Hari Kartini, kisah Tamar terasa sangat relevan. Seperti Tamar, Kartini hidup di tengah budaya yang membatasi perempuan. Ia tidak menunggu “Syela besar” — ia tidak diam dihadapkan pada janji-janji kosong perubahan. Ia memilih melangkah, membuka jalan bagi pendidikan dan kebebasan perempuan Indonesia.
Dalam perjuangannya, Kartini berani menghadapi cemoohan, kesalahpahaman, dan tuduhan melawan adat. Namun, seperti Tamar, Kartini tetap bergerak. Ia memilih menghadapi ketakutan daripada membiarkan ketidakadilan menang.
Keduanya mengajarkan kepada kita bahwa perubahan besar tidak lahir dari orang-orang yang memilih aman, melainkan dari mereka yang berani bertindak di tengah risiko. Dunia mungkin mencoba menahan langkahmu dengan janji-janji manis, tetapi jika kamu mau perubahan, kamu harus berani melangkah.
Penulis
