(Renungan Dari Bacaan 1 Yohanes 3 : 7 – 10, Yohanes 1 : 35 – 42)
Kita dilahirkan di dunia ini tanpa bisa memilih orang tua kita, dan tanpa bisa menolak DNA orang tua kita yang mengalir dalam darah kita. Siapa pun kita Tuhan menciptakan yang terbaik (Kej. 1: 26-27). Apabila ada orang yang mempunyai tabiat atau tingkah laku yang kurang baik, bukan berarti Allah menciptakan produk yang salah. Manusia bukan robot yang diciptakan menurut kehendak Allah, seperti benda mati, tetapi Allah juga memberi akal budi dan pengetahuan kepada manusia (Ko.3: 10), diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan pilihan jalan hidupnya. Keinginan manusia yang cenderung egois dan serakah mewarnai setiap perjalanan hidupnya (Yes. 65: 2). Hal inilah yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa, melakukan sesuatu yang tidak disukai Allah (Rm. 7: 14-18).
Manusia cenderung memilih kesenangan duniawi ketika berhadapan dengan banyak penawaran dunia yang menggiurkan dan memuaskan keinginan daging. Namun, sebetulnya hal tersebut bersifat semu dan hanya sementara. Pilihan demikian mengakibatkan manusia berbuat dosa, dan berpaling dari ajaran yang diberikan Allah melalui firman-Nya (1Yoh. 3:4). Dari sebab itu, penulis surat Yohanes mengingatkan kita, “janganlah membiarkan seorang pun menyesatkan kamu” (1Yoh. 3:7). Di zamannya, orang yang menyesatkan adalah orang-orang yang menyampaikan ajaran palsu, ajaran sesat. Namun, dewasa ini tawaran-tawaran dunia yang menggiurkan dapat lebih menyesatkan daripada pembawa ajaran palsu.
Kesesatan membuat orang tidak melakukan kebenaran dan berbuat dosa, seperti Iblis, padahal upah dosa adalah maut. Allah Mahakasih tidak membiarkan manusia yang diciptakan-Nya binasa. Dari sebab itu, Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal turun ke dalam dunia. untuk membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis (1Yoh. 3:8). “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3: 16). Dengan kepercayaan itu kita juga diangkat menjadi anak-anak Allah dan bukan lagi anak-anak Iblis.
Setiap orang yang percaya dan berharap kepada-Nya, dipanggil untuk menyucikan diri dan hidup suci sama seperti Dia yang suci, dengan menjauhkan diri dari perbuatan dosa, dan melakukan kebenaran seperti Kristus adalah benar.
Tuhan Yesus datang ke dunia untuk semua orang, memanggil setiap orang datang dan percaya kepada-Nya. Namun, manusia kadang tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar panggilan-Nya (Ayb. 33:16; 36: 10). Mereka yang mendengar panggilan-Nya pun masih diuji lagi untuk bisa dipilih.
Ketika dua murid Yohanes mengikuti Yesus karena tergerak oleh kesaksian guru mereka, Yesus menoleh ke belakang dan bertanya kepada mereka,“Apakah yang kamu cari?” Pertanyaan Yesus seperti menyindir motivasi awal mereka dan motivasi kita dalam mengikuti Yesus. Apa yang kita cari, apa yang ingin kita peroleh dengan mengikuti Yesus? Mereka tidak pertama-tama tertarik pada pribadi Yesus, melainkan apa yang diperoleh dengan mengikuti Yesus. Kita ingin hidup enak, terjamin, bisa menjadi anggota komunitas tertentu yang akan membantu kita, bisa masuk sekolah tertentu atau rumah sakit tertentu yang dikelola pengikut Yesus, dan masih banyak motivasi lainnya. Saya ingat ketika bertanya kepada seorang katekumen, seorang calon baptis, “mengapa kamu mau dibaptis?” Dengan polosnya ia menjawab, “Agar saya mudah masuk sekolah katolik dan bisa mendapat diskon”.
Jawaban kedua murid pun sangat cerdas, “Rabi (artinya: Guru) di manakah Engkau tinggal?” (Yoh. 1:38). Mereka ingin mengetahui terlebih dahulu siapa guru yang hendak mereka ikuti, di mana ia tinggal, di istana ataukah di kolong jembatan? Dengan mengetahui tempat tinggalnya, mereka akan bisa mengambil keputusan apakah akan mengikuti dia atau tidak.
Yesus tidak melarang mereka memiliki motivasi yang kurang sehat di tahap awal. Panggilan adalah sebuah proses, yang adakalanya diawali dengan sesuatu yang kurang murni dan tulus. Yesus mengundang mereka untuk tinggal bersama Dia, “Marilah dan kamu akan melihatnya” (Yoh. 1:39).
Saat ini kita mungkin sudah mengetahui dan mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat kita. Namun, motivasi kita mengikuti Dia barangkali masih dinodai oleh keinginan-keinginan untuk mencari hal-hal duniawi yang menyesatkan, sensasi-sensasi yang mengundang decak kagum. Nasihat Yohanes, tentu masih aktual: Jangan membiarkan seorang pun atau sesuatu pun menyesatkan kamu. Hari-hari yang kita lewati mungkin telah diisi dengan pertanyaan: “apa yang kamu cari”. Namun, perlahan-lahan kita melakukan transformasi diri, dengan mengubah pertanyaan itu menjadi, “siapa yang kamu cari?’ Kita ingin mencari persatuan dengan Kristus dan berkat kesatuan itu kita menjadi serupa dengan Dia. Kita tidak perlu lagi bertanya, “Guru di mana Engkau tinggal?” Sebab, Ia telah tinggal di hati kita dalam Roh-Nya, yang menuntun kita melakukan kebenaran dan hidup dalam kasih.

Penulis

