Renungan hari ini dari bacaan Pengkhotbah 1:2; 2:22-23 dan Lukas 12:13-21. “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu.” (Luk. 12:15) |
Manusia memiliki kecenderungan yang sudah menjadi penyakit akut dan menggiring dia kepada kejahatan. Nama penyakit akut itu adalah keserakahan. Sejak manusia pertama, penyakit ini sudah menggerogoti manusia. Karena serakah, mereka makan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, yang dilarang Tuhan. Semuanya mau dimakan, tanpa menyisakan untuk orang lain, untuk generasi kemudian.
Lukas menceritakan kisah tentang seseorang yang datang kepada Yesus dan meminta agar Yesus menyuruh saudaranya berbagi warisan dengan dia. Mengapa? Mungkin karena saudaranya serakah, tidak mau berbagi warisan dengan dia. Yesus menyatakan bahwa Ia tidak punya otoritas untuk menjadi hakim bagi mereka dalam hal warisan. Namun, ia memberikan nasihat yang sangat penting: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah berasal dari kekayaannya itu” (Luk. 12:14).
Betapa banyak perselisihan yang tidak sehat terjadi, baik dalam hal warisan maupun bisnis, karena ketamakan. Orang hanya berpikir tentang bagaimana memperkaya diri sendiri, mengejar keuntungan dan kenikmatan diri sendiri, tanpa memperhatikan kepentingan orang lain, bahkan kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Celakanya, kekayaan, kekuasaan itu seperti lubang kubur yang ternganga, tidak pernah puas untuk diisi. Berapa pun besar hartanya, seseorang tetap saja merasa kurang. Mereka menumpuk harta untuk tujuh turunan, seakan keturunannya tidak bisa bekerja untuk menyambung hidupnya.
Perumpamaan yang disampaikan Yesus sangat jitu mengungkapkan kebodohan orang yang menimbun harta. Karena itu, mari kita baca dan renungkan dalam-dalam. “Ada orang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17 Ia bertanya dalam hatinya, ‘Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku.’ 18 Lalu katanya, ‘Inilah yang akan aku perbuat: Aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya semua gandum dan harta bendaku. 19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, engkau memiliki banyak harta, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!’ 20 Akan tetapi, Allah berfirman kepadanya, ‘Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?’ 21 Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, tetapi tidak kaya di hadapan Allah” (Luk. 12:17-21).
Tuhan tidak menghendaki kita pertama-tama untuk sukses, berhasil mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, melainkan berguna untuk orang lain. Keluhuran seseorang tidak terletak pada banyaknya lumbung yang ia bangun untuk menimbun harta, melainkan berapa banyak yang ia bagikan bagi sesamanya. Sebab, yang akan dibawa mati bukanlah harta itu, melainkan kasih yang sudah ditunjukkan kepada Tuhan dan sesama. Mungkin kita sudah berkali-kali membaca perumpamaan ini dan sudah memahami serta menyadari bahwa menimbun kekayaan itu hanyalah sebuah kebodohan, atau meminjam kata Pengkhotbah, “kesia-siaan belaka”. Namun, mengapa kita tetap saja melakukannya? Mengapa orang tetap saja tega melakukan korupsi trilyunan rupiah, sementara begitu banyak orang sebangsanya menderita kelaparan?
Jawabannya mungkin sederhana: Kita sudah diperbudak oleh kekayaan dan kenikmatan duniawi, dan mengira hidup bisa dibeli dengan uang. Kita lupa bahwa kematian bisa datang tiba-tiba. Kita kurang melatih diri untuk melawan keserakahan dengan membiasakan diri berbagi dengan sesama, melihat kepentingan orang lain lebih dari kepentingan diri sendiri.
Mari kita mohon kepada Tuhan agar kata-kata ini jangan sampai kelak ditujukan kepada kita: ‘Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil darimu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?’ (Luk. 12:20).
Penulis
