Renungan hari ini dari bacaan Ezra 6:7-8.12b.14-20; Lukas 8:19-21 “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” (Luk. 8:21). |
Ketika kembali dari pembuangan di Babel, Israel membangun kembali Bait Allah dan mereka merayakan penahbisannya dengan penuh sukacita serta mempersembahkan banyak kurban (Ezr. 6:16-17). Mereka menyadari bahwa yang perlu mereka bangun bukan hanya bangunan, tetapi kerinduan akan Allah yang hadir di tengah-tengah mereka.
Mereka menggaungkan kembali kerinduan dan sukacita yang pernah diungkapkan Daud dalam nyanyian ziarahnya: ”Aku berkukacita, ketika dikatakan kepadaku: ’Mari kita pergi ke rumah TUHAN’” (Mzm.122:1). Bait Allah merupakan tempat Allah bertakhta, tempat bertemu dengan Allah, sumber suka cita. Bait Allah adalah tanda bahwa Allah mau tinggal dan meraja di tengah-tengah umat-Nya untuk memberikan perlindungan dan ketenteraman. Bait Allah merupakan tanda bahwa Allah hadir dan berdaulat atas umat-Nya.
Yesus mengajarkan kita bahwa bait Allah tidak terbatas pada struktur fisik, pada bangunan fisik. Hati kita pun dapat menjadi Bait Allah yang sejati, jika kita terbuka untuk mendengarkan dan mempersilahkan Firman Allah betakhta di dalamnya hingga kemudian menggerakkan kita untuk melaksanakannya. Ketika kita bersatu dengan Sang Sabda, berada dalam persekutuan dengan Sang Sabda, kita menjadi saudara dalam iman. Itulah sebabnya, kepada orang yang memberi tahu bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya ingin bertemu, Yesus menjawab, ”Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya.” (Luk. 8:21).
Dengan kata-katanya ini Yesus bukannya menolak ibu dan saudara-saudara-Nya, melainkan memberikan perspektif baru dalam menjadi ibu dan saudara-saudara-Nya. Ia meyakinkan semua pendengarnya bahwa sebuah persekutuan hidup bisa bisa dibangun bukan hanya berdasarkan hubungan darah, melainkan ada dasar yang lebih dahsyat dari itu. Dasar itu tiada lain dari kesiapan dalam mendengarkan dan melaksanakan Firman-Nya. Dengan jawaban ini pula, ia bukannya menolak Maria sebagai ibunya, melainkan menunjukkan kepada semua pendengarnya bahwa Maria adalah ibu-Nya yang sejati, bukan pertama-tama karena ia memiliki hubungan darah dengan dia, melainkan karena dialah pendengar dan pelaksana firmam yang sejati. Ia telah mengandung Sang Sabda, dan melahirkan-Nya dalam realitas hidup ini.
Bagaimana dengan hidup keagamaan kita dewasa ini? Apakah kita merasa sudah benar-benar saudara Yesus hanya karena sudah rutin ke gereja, ke rumah Allah, meski hanya formalitas? Kepada jemaat di Korintus, Paulus pernah menulis, ”Bait Allah itu kudus dan bait Allah itu ialah kamu sekalian” (1Kor.3:17). Kapan kita mengamini kata-kata Paulus ini? Apakah kita ke rumah Allah karena didorong oleh kerinduan yang dalam dan akhirnya benar-benar merasakan persatuan dengan Dia, mendengarkan firman-Nya dengan sungguh-sungguh, dan akhirnya melaksanakannya dalam realitas hidup ini hingga kita menjadi kudus? Adakah kita sudah merasa bahwa saudara seiman yang mendengarkan firman yang sama adalah sungguh-sungguh saudara kita?
Doa
Tuhan Allah yang penuh kasih,
terima kasih karena Engkau telah menjadikan kami sebagai keluarga-Mu, memberi Roh Kudus tinggal dalam jiwa kami. Rombaklah kami setiap hari, agar hati, pikiran, tubuh, dan hidup kami menjadi bait-Mu yang kudus. Ajarkan kami hidup dalam kerinduan akan kasih-Mu, bahwa hidup kami tidak sia-sia, tetapi memancarkan kasih, damai, dan sukacita kepada sesama.Amin.
Penulis

