Renungan hari ini dari bacaan Yunus 4:1-11; Lukas 11:1-4.“Ampunilah dosa-dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami” (Luk. 11:4). |
Pernahkah kita merenungkan apa yang sesungguhnya kita mohon ketika mengucapkan doa Bapa Kami, terutama kalimat ini: “Ampunilah dos-dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami?” Pertanyaan ini sangat penting, sebab doa yang diajarkan Yesus bukan sekadar ucapan, tetapi sebuah jalan hidup.
Dalam Luk 11:1–4, Yesus mengajarkan murid-murid-Nya doa yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami. Doa ini sederhana, singkat, tetapi mengandung kedalaman yang luar biasa. Di dalamnya ada tiga pilar: pertama, memuliakan Allah (dikuduskanlah nama-Mu), kedua, membuka hati terhadap karya Allah (datanglah kerajaan-Mu), dan ketiga, kebutuhan manusiawi kita (berilah kami setiap hari makanan kami serta ampunilah kami). Intinya, doa ini menuntun kita untuk hidup dalam relasi yang benar dengan Allah sekaligus dengan sesama. Namun, yang paling menantang adalah bagian “ampunilah kami, sebab kami pun mengampuni”. Dengan kata lain, kita tidak bisa hanya menerima pengampunan Allah tanpa belajar mengampuni orang lain. Doa ini bukan hanya permohonan, tetapi komitmen hidup.
Bacaan dari kitab Yunus (Yun. 4:1–11) meneguhkan pesan ini. Yunus marah karena Allah berbelas kasih kepada orang Niniwe. Ia merasa keadilan Allah dilanggar karena musuhnya tidak dihukum, malah diampuni. Tetapi, Allah menegur Yunus dengan lembut: “Pantaskah engkau marah?” Allah menunjukkan bahwa belas kasih-Nya lebih besar daripada hukuman, bahkan untuk orang yang jahat sekalipun. Allah melihat setiap manusia sebagai ciptaan yang berharga, dan pengampunan selalu menjadi pilihan-Nya. Nah, di sinilah kita diajak bercermin.
Seperti Yunus, kita sering berdoa memohon berkat, pengampunan, rezeki, dan keselamatan, tetapi kita sulit menerima bahwa orang lain yang kita anggap “bersalah” atau “jahat” juga dikasihi dan diampuni oleh Allah. Kita mau diampuni, tapi enggan mengampuni. Kita ingin ditolong, tapi hati kita keras terhadap sesama.
Yesus melalui doa Bapa Kami ingin mengubah pola pikir itu. Doa bukan hanya meminta sesuatu untuk diri sendiri, melainkan membentuk hati agar semakin serupa dengan hati Bapa: hati yang murah hati, penuh belas kasih, dan siap mengampuni. Maka, ketika kita berdoa “ampunilah kami,” kita ditantang untuk membuka hati: apakah saya juga siap mengampuni? Ketika kita mohon “berilah kami makanan kami,” kita ditantang berbagi rezeki dengan sesama. Ketika kita berkata “datanglah kerajaan-Mu,” kita dipanggil menghadirkan tanda kerajaan Allah dengan hidup adil, jujur, dan penuh cinta kasih.
Mari kita masing merefleksikan apakah doa-doa kita selama ini hanya berhenti pada permintaan pribadi, ataukah sudah mengubah sikap hidup kita? Apakah saya sudah sungguh rela mengampuni orang yang bersalah kepada saya, atau saya masih menyimpan dendam?
Apakah saya rela melihat kasih Allah bekerja juga pada orang yang berbeda atau bahkan pernah menyakiti saya, seperti Allah mengasihi orang Niniwe?
Doa Bapa Kami bukan sekadar doa hafalan, tetapi sebuah cara hidup. Allah menghendaki kita tidak berhenti hanya pada kata-kata, melainkan membiarkan doa itu meresap ke dalam sikap sehari-hari.
Marilah kita belajar berdoa dengan hati yang terbuka, penuh kerendahan hati, dan siap mengampuni, sehingga doa kita bukan hanya permintaan, melainkan perwujudan iman yang nyata: hidup dalam belas kasih, hidup dalam pengampunan, dan hidup yang menghadirkan kerajaan Allah di tengah dunia ini.
Penulis


satu Respon
**mindvault**
mindvault is a premium cognitive support formula created for adults 45+. It’s thoughtfully designed to help maintain clear thinking