Berkat Di Tahun Baru

Menjelang akhir tahun 2024 media sosial membanjiri kita dengan informasi-informasi yang menciutkan hati. Beragam ramalan dilontarkan oleh para pengamat ekonomi tentang situasi dunia. Namun, sayang mayoritas menyampaikan situasi yang gelap. Kenaikan PPN 12 persen, penurunan daya beli masyarakat dan penurunan jumlah kelas menengah sebanyak 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir. Terbayang utang-utang yang sulit dilunasi, bahkan sebaliknya mungkin malah bertambah. Situasi politik dunia juga sedang tidak baik-baik saja: perang di beberapa bagian belahan dunia terus berlanjut, dan belum ada titik terang penghentiannya. Baba Vanga, peramal buta dari Bulgaria, wafat tahun 1996, menyatakan bahwa  kiamat akan dimulai paling cepat tahun 2025, ketika terjadi konflik besar di Eropa yang ‘menghancurkan’ populasinya. Semua bentuk-bentuk kegelapan itu berjajar bagaikan cakar-cakar iblis yang menebar ketakutan dan kecemasan yang menggetarkan.

Demikianlah dalam memasuki tahun baru 2025 ini kita seperti diajak kembali ke drama awal penciptaan dunia. Ketika kuasa Allah berhadapan dengan kekuatan-kekuatan negatif yang dilambangkan oleh kaos awali, kegelapan, dan samudera purba, yang mencoba mengaburkan keagungan Allah. Mungkin seperti orang Israel yang yang hendak memasuki Tanah Terjanji, dicekam ketakutan yang luar biasa, demikian juga kita yang hendak memasuki tahun 2025. Israel ketakutan karena membayangkan ganasnya penduduk asli Kanaan, orang Enaq yang begitu besar dan kuat. Mereka marasa tak berdaya menghadapinya.

Haruskah bayangan gelap situasi dunia itu menjadi seperti rantai besi yang diikatkan pada kaki sehingga langkah kita terseret-seret memasuki tahun 2025? Kisah penciptaan menunjukkan bahwa Allah tidak menghancurkan kaos awali, melainkan mengatur dan mengendalikannya. Kegelapan dan kesulitan akan terus ada dan selalu mengacam kehidupan di dunia. Dari sebab itu, tidak sepantasnya kita memimpikan dunia tanpa kegelapan, tanpa kesulitan, dan penderitaan.  Kehadirannya merupakan undangan untuk melihat semua itu sebagai tantangan dan peluang untuk membangun sikap selalu berjaga-jaga, dan semangat untuk bekerja keras agar kita bisa mengatur dan mengendalikan kegelapan itu.

Banyak orang Israel yang ketakutan karena merasa tak berdaya menghadapi penduduk Kanaan yang besar dan kuat, telah memutuskan untuk meninggalkan Musa dan memilih pemimpin baru yang memimpin mereka kembali ke tanah Mesir. Rasa takut dan cemas membuat mereka mengambil keputusan yang salah dan berujung pada maut. Kita tidak mau mengulang kesalahan mereka, sebaliknya kita mau meneladani para gembala, yang semula sangat ketakutan ketika seorang malaikat berdiri di dekat mereka. Namun, setelah mendengar berita malaikat mereka berkata,  “Marilah sekarang kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” (Luk. 2:15). Dengan penuh sukacita dan harapan mereka pergi ke Betlehem untuk menemui Imanuel yang baru lahir.

Kabar sukacita apa yang kita dengar sehingga kita bisa menyongsong tahun baru dengan penuh sukacita dan harapan meski kesulitan dan rintangan menghadang di depan kita? Bacaan pertama menyampaikan kepada adanya berkat dan perlindungan Tuhan. Berkat yang dahulu dijanjikan kepada Israel kini juga diberikan kepada kita. “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau (Bil. 6:24).” Kita tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di tahun 2025. Kita hanya bisa menduga-duga. Namun, dalam tantangan dan ketidakpastian itu, kita melangkah dengan rasa damai dan aman karena kita percaya akan janji berkat-Nya: bahwa Ia adalah Imanuel, Allah yang menyertai kita. Keyakinan ini mendorong kita untuk berusaha dengan lebih semangat, lebih terarah, dan percaya diri.

Berkat itu membuat kita merasa aman, seperti seorang anak yang merasa aman meski berjalan di tempat yang gelap dan penuh bahaya. Sebab, ia melihat ayahnya selalu berjalan di sampingnya, melindungi, dan menuntunnya. Bukankah kita telah menjadi anak-anak Allah, seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus: “Setelah genap waktunya, Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan, … supaya kita diterima menjadi anak. …  Jadi, kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, kamu juga ahli-ahli waris oleh perbuatan Allah.” (Gal. 4:4-7). Dia menyertai kita bukan secara pasif melainkan aktif. Ia menyinari hidup kita dengan wajah-Nya (Bil. 6:25), sehingga kegelapan pun lenyap. Dukacita pun sirna, berubah menjadi sukacita karena ada penghiburan dari Dia. Ia juga memberi kita kasih karunia (Bil 6:25), kekuatan untuk bertumbuh dan berbuah meski kita berada di dunia yang penuh kesulitan. Akhirnya, Ia juga berjanji memberi kita damai sejahtera (syalom) (Bil 6:26), damai yang mendalam yang tidak dapat diberikan oleh dunia.

Masalahnya sakarang, apakah kita benar-benar merasakan Allah seperti ayah kita sendiri yang selalu menyertai kita. Bagaimana kita bisa selalu merasakan kehadiran-Nya yang menjanjikan hal-hal yang indah itu? Kita memang sudah menjadi anak-anak Allah, tetapi anak-anak adopsi. Sebagai anak adopsi, kita perlu belajar menjadi anak sejati, belajar hidup sesuai dengan hidup-ayah angkat kita, membangun komunikasi dengan Dia dan mempelajari cara hadir-Nya. Mengingat Allah, Bapa kita, adalah kasih, kita perlu belajar hidup dalam kasih, belajar mengucapkan kata-kata kasih. Dengan demikian kita akan peka merasakan kehadiran-Nya dan dapat membaca setiap peristiwa dalam terang iman, artinya dalam kehadiran-Nya. Misalnya setiap hari, setiap kegiatan, kita mulai dengan doa, dengan keheningan meski sejenak, untuk menyadari kehadiran-Nya. Kesadaran bahwa kita hidup dalam kehadiran-Nya yang membawa berkat dan perlindungan

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *