Renungan hari ini dari bacaan Amos 8:4-7 ; Lukas 16:1-13. “Anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang” (Luk. 16:8b) |
“Urip mung mampir ngombe”begitu bunyi falsafah hidup orang Jawa, yang berarti “hidup hanyalah menumpang minum”.Dunia tak ubahnya sebuah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan menuju hidup abadi. Tidak ada yang tahu pasti berapa lama ia akan tinggal di situ. Yang jelas, sesuai dengan namanya, “persinggahan”, pasti jauh lebih pendek daripada hidup di keabadian. Meskipun pendek, orang sangat memperhatikannya dengan membuat perhitungan dan perencanaan sematang mungkin. Pada waktu kecil anak-anak diberi pendidikan untuk mempersiapkan masa depannya. Ketika sudah bekerja mereka belajar untuk menabung atau menjadi anggota asuransi, agar semua bisa dikelola dengan baik. Namun, bagaimana dengan kehidupan abadi? Meskipun menyadari bahwa hidup itu jauh lebih penting dan lebih lama, orang malah kurang menyiapkannya, kalau tidak bisa dikatakan mengabaikannya.
Kisah tentang bendahara yang dipecat oleh majikannya menyadarkan kita bahwa orang perlu mempersiapkan hidup abadi itu bahkan dengan cara yang jauh lebih baik lagi. Ketika dipecat oleh tuannya, bendahara itu memperhitungkan baik-baik apa yang bisa ia lakukan setelah itu. “Mencangkul aku tidak kuat, mengemis aku malu” (Luk. 16:3). Akhirnya, dia menemukan jalan keluar yang sangat cerdik: “supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka” (Luk. 16:4). Dia memanggil orang-orang yang berutang kepada tuannya seorang demi seorang, dan mengurangi jumlah utang mereka. Utang seratus tempayan minyak diganti menjadi lima puluh tempayan, seratus pikul gandung menjadi delapan puluh pikul. Apa maksudnya? Apakah ia korupsi?
Lukas mengatakan bahwa “tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik” (ay. 8a). Benar, bahwa ia tidak jujur, karena ia mengubah jumlah utang orang. Namun, ia dipuji bukan karena ketidakjujurannya melainkan kecerdikannya. Di mana kecerdikannya? Ia membuat perhitungan yang matang: ia berani mengorbankan keuntungannya saat sekarang demi masa depannya. Misalnya, dari orang yang berutang seratus tempayan minyak mungkin seharusnya ia bisa mendapat keuntungan enam puluh tempayan, karena ia harus menyetor kepada majikannya hanya empat puluh tempayan. Dengan mengurangi jumlah utang orang itu menjadi lima puluh, ia akan untung hanya sepuluh tempayan. Namun, ia memiliki relasi yang baik dengan orang berutang itu, yang mungkin akan mau menampung dia di rumahnya (ay. 4).
Demikianlah anak-anak dunia ini, mereka begitu saksama memperhitungkan kehidupan di dunia ini. Namun, seperti disindir oleh Yesus, mereka tidak memperhitungkan kehidupan abadi secermat itu, bahkan cenderung mengabaikannya. “Anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya daripada anak-anak terang” (ay. 8b).
Mari kita belajar dari kecerdikan bendahara itu dalam mempersiapkan hidup abadi, yakni berani mengorbankan apa yang kita miliki saat ini untuk membuat “tabungan” dalam hidup abadi. Sesungguhnya, tabungan untuk hidup abadi bukanlah seberapa banyak harta yang kita timbun, melainkan seberapa banyak kita memberikan dan mengorbankannya bagi orang lain.
Nasihat Yesus ini mengingatkan saya akan seorang teman yang kaya raya tetapi pelitnya minta ampun. Jika diminta untuk menyumbang apalagi menyumbang untuk suatu pesta atau perayaan bersama, selalu ada saja alasannya untuk menolak, misalnya: “Kalau tidak punya uang, jangan bikin pesta”. Namun, akhirnya ia meninggal karena stroke tanpa bisa menikmati hartanya. Lalu, untuk apa harta yang ia tinggalkan? Untuk perkelahiran di antara ahli waris.
Mari kita gunakan waktu yang sementara di dunia ini untuk membuat perhitungan yang lebih cermat dan serius dalam mempersiapkan kehidupan di keabadian. Apa saja yang bisa saya kurbankan di dunia ini, kebaikan-kebaikan apa saja yang bisa saya buat, untuk mempersiapkan hidup yang jauh lebih lama dari hidup di dunia ini. Sudah berapa banyak tabungan yang saya di keabadian? Sesungguhnya, ketika meninggal, semua harta akan kita tinggalkan, dan yang kita bawa hanyalah kebaikan dan kasih sayang yang telah kita bagikan.
Penulis
