Renungan dari Bacaan Yes. 50:4-7 dan Luk. 22:14- 23:56 “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk. 22:46). |

Bacaan Injil pada hari ini mengajak kita merenungkan kisah sengsara Yesus Kristus. Ada banyak momen yang menggetarkan dalam perjalanan derita Yesus mulai dari perjamuan malam terakhir hingga penyaliban-Nya. Namun, kali ini saya hendak berhenti sejenak di Taman Getsemani. Terbayang di mata saya taman yang indah dengan pohon zaitun yang sudah berusia ratusan tahun. Batangnya besar berlubang-lubang tak mampu menyembunyikan usianya yang tua. Namun, pohon ini memiliki keistimewaan: batang yang tua mati untuk membiarkan munculnya tunas muda. Dalam diam pohon ini bersaksi tentang Yesus yang bersimpuh di sisinya, menjelang kematian-Nya untuk memberikan kehidupan.
Di situ, di antara pepohonan itu Yesus berlutut dan berdoa. Ia sendirian dalam kesunyian di antara bayang-bayang penganiayaan kejam yang akan Ia alami. Ia telah berpesan kepada murid-murid-Nya, “Berdoalah supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk. 22:40). Dia telah mengajarkan mereka tentang betapa pentingnya doa di saat menghadapi kesulitan. Belum lama berlalu Ia mengingatkan Petrus bahwa “Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan gugur” (Luk. 22:31-32). Namun, nasihat-Nya tentang pentingnya doa seakan masuk telinga kiri dan langsung keluar di telinga kanan. Tak seorang pun dari mereka menemani Dia berdoa. Meskipun demikian Ia terus berdoa, “Ya Bapa, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku. Tetapi, jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Luk. 22:42).
Bayang-bayang derita dan penyiksaan yang sangat mengerikan berjajar di hadapan-Nya. Penganiayaan yang menanti memang mengerikan, tetapi di pihak lain Yesus juga menyadari tugas perutusan-Nya. Dia berdoa untuk mengetahui kehendak Bapa dan dalam doa itu ia bergumul menghadapi ujian ketaatan sebelum kematian-Nya. Dalam pencobaan yang terberat ini Ia melakukan hal yang berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh para murid. Ia menjauhkan diri dari para murid (Luk. 22:41). Berbeda dengan Matius dan Markus, Lukas menekankan bahwa Yesus tidak minta para murid berjaga bersama Dia (bdk. Mrk. 14:34; Mat. 26:36). Yesus bukan saja seorang nabi, tetapi juga seperti seorang filsuf sejati yang menghadapi saat-saat sulit dengan gagah berani, tanpa takut.
Seorang malaikat menampakkan diri kepada-Nya (Luk. 22:43). Seperti seorang pelatih yang menguatkan atletnya, Ia memberi kekuatan kepada Yesus sehingga Ia semakin bersemangat berdoa. Seperti seorang atlet, peluh Yesus bercucuran hingga seperti tetesan darah (Luk. 22:44) ketika menghadapi perjuangan yang paling fundamental dalam mengatasi keingian manusia-Nya. Dia memasuki pertarungan paling sengit melawan kuasa kegelapan, dan dalam doa-Nya, Ia menerima apa yang sudah ditentukan Allah bagi-Nya.
Para murid tidak berdoa seperti yang dianjurkan Yesus, melainkan tertidur karena dukacita. Sebaliknya Yesus, seperti seorang atlet spiritual, memasuki saat derita dengan doa di hadapan Allah. Dia berdoa dengan tenang untuk menyerahkan semuanya pada kehendak Bapa (22:42). “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya” (Ibr. 5:8). Ia melepaskan semua keinginan-Nya untuk hidup dan untuk menghindari penderitaan, melainkan menerima apa yang sudah ditentukan bagi-Nya.
Meskipun para murid bersikap seperti itu, Yesus tetap mengambil disposisi positif terhadap mereka. Ia berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan” (Luk. 22:46). Wajahnya begitu tenang. Karena doa telah memberi Dia kekuatan dalam menghadapi cobaan yang sangat berat. Doa memampukan Dia melihat kehendak Bapa di balik derita-Nya. Kini haruskah Ia berulang kali mendatangi kita dan berbisik: .“Mengapa kamu tidur? Bangunlah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan”.
Penulis
