Habis Gelap Terbitlah Terang (12 Juni 2025)

Renungan Dari Bacaan 2 Kor 3: 15 – 4 : 1.3 – 6 dan Matius 5 : 20 – 26
“Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang Nampak pada wajah Kristus”. (2Kor. 4:6b). 

Dalam Perjanjian Baru, para ahli Taurat berkembang menjadi semacam ahli hukum atau hakim. Karena pengerahuan mereka yang luas, mereka pandai menafsirkan hukum Taurat dan kadang-kadang berdebat dengan Yesus tentang arti suatu peraturan. Para ahli Taurat melihat Yesus sebagai ancaman bagi tegaknya hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh Musa, yakni hukum Taurat, dan hukum-hukum adat lainnya. Yesus menjadi ancaman juga bagi keberadaan para ahli Taurat, karena wibawa mereka digerus.

Yesus menganggap rendah kesalehan mereka, ketika Ia berkata, “Jika hidupmu tidak lebih benar daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga” (Mat. 20). Kesalehan mereka sepertinya tidak cukup untuk bisa menjamin seseorang masuk surga. Mengapa? Bukankah mereka orang-orang yang sangat setia dan taat kepada hukum? Ya, tetapi mereka tidak melakukannya dengan tulus. Pesan Yesus mengingatkan kita bahwa kehidupan rohani harus berangkat dari hati, dan bukan perbuatan lahiriah semata. Larangan membunuh, misalnya, bukanlah larangan yang terbatas pada menghilangkan nyawa sesama, melainkan lebih dari itu. Marah kepada saudara-saudara yang kita jumpai, apalagi saudara seiman, sudah termasuk pelanggaran atas hukum itu. Allah melihat bukan hanya perbuatan lahiriah kita, melainkan terutama hati, yang menjadi sumber dan pemicu perbuatan lahiriah yang jahat. Kemarahan yang menyala-nyala di dalam hati seseorang, dapat mendorong ia melakukan tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan. Kemarahan yang diekspresikan dengan kata-kata umpatan atau kata-kata tuduhan dan penghinaan, dapat menimbulkan masalah serius, dapat menyeret seseorang bukan hanya kepada pengadilan di dunia ini, melainkan juga penghukuman abadi.

Banyak hal-hal baik yang patut kita lakukan bukan secara asal-asalan: pokoknya berbuat baik. Kita perlu melakukannya dengan tulus, bukan untuk mencari pujian bagi diri sendiri melainkan Allah. Perbuatan baik perlu dilakukan dengan hati yang tenang, ramah, dan penuh kasih, sehingga perbuatan itu benar-benar menjadi berkat yang berdampak positif baik bagi orang-orang di sekitar kita maupun diri kita sendiri.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *