Renungan hari ini dari bacaan Ibrani 5:7-9; Yoh. 19:25-27. “Dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya. …. “Ibu, inilah anakmu!”… “Inilah ibumu” (Yoh. 25-27). |
Penderitaan betapa pun pahitnya kadang terasa manis bila dipikul bersama. Kehadiran seorang ibu di sisinya, benar-benar menyejukkan hati Joni, meskipun ia tidak bisa berkata apa-apa. Dia baru saja bisa melihat setelah tak sadarkan diri beberapa hari akibat mobil yang ia kendarai tak bisa dikendalikan dan menabrak pohon. Tidak ada raut kemarahan di wajah ibunya. Yang ada hanya raut kesedihan dan kecemasan, karena menyadari bahwa hanya mukjizat yang bisa memulihkan hidup anaknya. Ia tak tahan melihat luka-luka dan penderitaan anaknya, dan ingin sekali menggantikan posisi anaknya. Rasanya lebih baik ia yang menanggung derita itu, daripada melihat anaknya menderita seperti itu.
Mungkin seperti itulah yang dirasakan Maria. Dulu, ketika mempersembahkan Yesus ke Bait Allah, ia tidak mengerti kata-kata Simeon: “Suatu pedang juga akan menembus jiwamu sendiri” (Luk. 2:35). Kini ia memahami perih dan pedihnya tusukan pedang itu. Namun, ia sudah berjanji kepada Tuhan, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu”. Ia bertekad untuk menemani perjuangan Yesus, Putranya, sampai akhir. Ia tegar berdiri di kaki salib Yesus. Bersama dia ada pula saudara ibu-Nya, Maria, istri Klopas dan Maria Magdalena. Mereka saling menguatkan satu sama lain, dan menjadi hiburan istimewa bagi Yesus yang selama berjam-jam seperti berjuang seorang diri, ditinggalkan oleh murid-murid-Nya.
Ketiga wanita itu, terutama Maria, hadir di kaki salib karena cinta yang mendalam. Mereka tidak takut dicap sekutu penjahat atau musuh penguasa. Orang-orang boleh menuduh Putranya penjahat atau pemberontak, tetapi bagi Maria, Ia tetap anaknya, orang yang paling ia kasihi. Cinta itu membuang semua rasa takut yang mungkin bisa menghinggapi seseorang, termasuk kematian. Bagi Maria, tidak ada yang bisa memisahkan Dia dari Putranya, termasuk ancaman kematian. Begitu pula Maria Magdalena. Dia tidak bisa melupakan kasih Yesus yang menyembuhkan dia, yang mengusir tujuh roh jahat darinya (Mrk. 16:9; Luk. 18:2). Kasih dan kebaikan Yesus membuat ia juga siap berada di sisi Yesus dalam penderitaan-Nya.
Melihat kasih ibu-nya, dalam penderitaan yang begitu dalam, di ujung kehidupan-Nya di dunia ini sebagai manusia, Ia masih memikirkan masa depan ibu-Nya. Ia tidak tenggelam dalam derita-Nya sendiri melainkan sesuai dengan misi yang diemban-Nya: Ia lebih memusatkan perhatiannya pada kepentingan orang lain daripada diri-Nya sendiri. Sebagai anak sulung, Ia juga tidak melupakan kewajibannya kepada ibu-Nya yang sudah ditinggalkan oleh ayah-Nya. Demikian, dalam penderitaan-Nya yang paling menyakitkan, Ia masih memikirkan orang lain, dan tidak mengeluh, meratap, atau sibuk memikirkan kepentingan diri-Nya, apalagi menuntut orang lain mempedulikan Dia.
Ia melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya. Dialah satu-satunnya murid yang setia mengikuti-Nya sampai di kaki salib karena cinta. Mereka sama-sama memiliki kasih yang amat dalam kepada Yesus. Dari sebab itu, Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada murid yang dikasihi-Nya itu, dan bukan kepada saudara-saudara-Nya, yang mungkin masih belum percaya kepada Yesus.
Murid yang dikasihi Yesus menerima Maria sebagai ibu-Nya, mewakili kita semua. Ya, Yesus mempercayakan ibu-Nya kepada kita untuk menjadi ibu kita. Maria bukanlah ibu yang rewel, yang akan menjadi beban bagi kita, melainkan Ibu yang tetap muda, tidak pernah tua dalam cinta. Dia mengajarkan kepada kita apa artinya setia sampai mati, dan mengecap manisnya cinta di dalam derita. Mari kita menerima ibu Maria dan belajar mencintai dari dia.
Penulis
