Bacaan: Matius 5:43-48; Ulangan 26:16-19 Pada hari ini, TUHAN Allahmu, memerintahkan kamu melakukan ketetapan peraturan ini. Lakukanlah semuanya itu dengan setia, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu (Ul. 26:16). |
Supaya mahir bermain piano, diperlukan latihan. Seorang yang terlatih, memainkan jari-jemarinya di atas tuts piano dengan lincah, meski matanya terpejam. Seakan dengan otomatis jari-jemarinya memainkan musik yang indah. Juga seorang penari melatih tubuhnya sedemikian rupa, sehingga melalui tarian, ia dapat mengungkap perasaan hatinya atau menyampaikan suatu pesan.
Pemusik dan penari handal, biasanya memiliki karakter tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Demikian juga Tuhan, meminta umat-Nya untuk memiliki ciri / karakter yang khas, yaitu menjadi sempurna, seperti Allah. (Mat. 5:48).
Karena Allah menurunkan hujan dan membuat matahari bersinar untuk semua orang, umat Allah pun harus berbuat baik kepada semua orang. Tidak boleh pilih kasih. Yesus bahkan meminta para murid-Nya untuk bertindak lebih ekstrim: Kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat. 5:44).
Ibarat ‘bermain piano’ dan menari, tindakan ‘mengasihi musuh’ juga suatu proses yang memerlukan latihan keterampilan pengendalian diri. Memaafkan adalah landasan untuk dapat mengasihi musuh dengan segenap hati. Memaafkan merupakan suatu kecerdasan dalam mengelola logika, perasaan, dan tindakan.
Tentunya hal itu bukan berarti mengharapkan untuk disakiti atau dikecewakan lebih sering, supaya terlatih dalam hal memaafkan. Tetapi memang, sudah sewajarnya bahwa memaafkan itu terasa sulit ketika baru pertama kali dilakukan. Terlebih lagi, jika dilakukan terhadap orang terdekat dan terpercaya.
Seringnya pertemuan dan peluang diulangnya perbuatan itu, membuat pintu maaf terasa semakin berat. Memikirkannya saja sudah membuat pening kepala dan sesak napas. Wah, ini malah mungkin berbalik jadi menyusahkan diri sendiri.
Sementara si pelaku kesalahan, sepertinya tidak terbebani oleh rasa bersalah. Dalam situasi inilah, akan terasa bahwa memaafkan dan mengasihi orang yang sudah menyakiti, memang memerlukan upaya lebih serius. Perlu sekali melatih diri untuk memaafkan sepenuh hati dan sepenuh jiwa, dengan segala kekuatan. Sebab, sebenarnya kemampuan untuk memaafkan adalah hadiah bagi diri sendiri.
Memaafkan berarti membebaskan diri dari segala perasaan yang menyiksa dan menghindarkan diri dari segala penyakit fisik maupun psikis yang dapat ditimbulkannya. Memaafkan itu menjadi sempurna, dalam wujud tindakan kasih kepada orang yang bersangkutan. Biarlah hari ini dan seterusnya kita diberi kekuatan untuk mengasihi musuh, dan biarlah hati, pikiran, dan tindakan kita hanya meresonansikan lagu cinta dan kasih setia Yesus Kristus, Allah kita.

Penulis

