Kemuliaan Allah dalam Kemurnian dan Kelemahan Manusia (13 Juni 2025)

Renungan dari Bacaan 2 Kor 4 : 7-15 dan Matius 5 : 27 – 32
“Hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati”(2Kor. 1:9)

Pernyataan Paulus bahwa kita membawa “harta ini dalam bejana tanah liat, untuk menunjukkan bahwa kuasa yang melimpah itu milik Allah, bukan milik kita,” adalah batu penjuru kerendahan hati Kristen dan pemberdayaan ilahi. Kehidupan kita, dengan segala kelemahan, kerapuhan, dan penderitaan — yang “tertekan,” “bingung,” “dianiaya,” dan “dijatuhkan”— bukanlah penghalang bagi pekerjaan Allah, melainkan justru kendaraannya. Inti dari bacaan adalah bahwa kuasa Allah disempurnakan dalam kelemahan kita. “Selalu membawa kematian Yesus di dalam tubuh” bukanlah untuk rasa kasihan diri yang sakit, tetapi “supaya hidup Yesus juga menyatakan diri di dalam tubuh kita.” Paradoks yang menakjubkan ini berarti kemahakuasaan Allah terlihat jelas ketika dihadirkan dalam kerapuhan kita, kematian kita menjadi panggung bagi kehidupan kebangkitan Kristus, dan kelemahan kita menjadi kesaksian bagi kekuatan-Nya. Inti renungannya adalah agar kasih karunia dapat meluas melalui kita kepada banyak orang, melipatgandakan syukur kepada kemuliaan Allah. Hal ini mengalihkan fokus kita dari kemampuan kita sendiri kepada kemampuan Allah yang tak terbatas yang bekerja melalui kita.

Sebaliknya, khotbah Yesus dalam Matius 5 secara radikal mendefinisikan kembali kebenaran dengan mengalihkannya dari ranah legalitas eksternal ke kedalaman hati manusia. “Setiap orang yang memandang perempuan dengan nafsu, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya.” Pernyataan ini bukan hanya tentang menahan diri dari suatu perbuatan, tetapi tentang menyalibkan keinginan. Gambaran grafis mencungkil mata atau memotong tangan, meskipun metaforis, menggarisbawahi keharusan mutlak penumpasan diri yang radikal dalam menghadapi dosa internal. Nasihat ini adalah panggilan untuk pembedahan rohani yang mendalam untuk memelihara jiwa.

Sehubungan dengan perceraian, Yesus mengupas penafsiran legalistik yang berabad-abad untuk mengungkapkan rancangan asli Allah yang kudus untuk pernikahan. Ia menegaskan keabadian perjanjian pernikahan dan beratnya pembubaran pernikahan. Di sini, inti renungannya adalah tentang kemurnian moral yang mendalam dan menjunjung tinggi institusi ilahi, serta memastikan bahwa dunia batin kita dan hubungan kita yang paling sakral mencerminkan kekudusan Allah.

Hubungan mendalam antara kedua bacaan ini terletak pada tuntutan yang sama akan pemuridan yang radikal dan anti-budaya yang berakar pada pribadi batiniah. Hamba yang menderita dalam gambaran Paulus melambangkan penyerahan yang memungkinkan kuasa Allah bersinar. Panggilan Yesus untuk kemurnian menuntut penyerahan keinginan egois yang memungkinkan kekudusan Allah dicerminkan. Keduanya membutuhkan kematian: “kematian Yesus” dalam tubuh Paulus, dan “kematian” kehendak diri serta keinginan dosa dalam Matius. Dalam kedua kasus ini, kematian ini bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan sarana untuk manifestasi Allah yang lebih besar: kuasaNya dalam 2 Korintus, serta kekudusan dan kehendak-Nya yang sempurna dalam Matius.

Pada akhirnya, kedua bagian ini mendorong kita melampaui keberagamaan yang dangkal menuju perjumpaan yang mendalam dan transformatif dengan Allah. Baik dalam menghadapi pencobaan lahiriah maupun godaan batiniah, responsnya bukanlah mengandalkan diri sendiri, melainkan mengandalkan Allah secara mendalam untuk kuasa dan kemurnian. Kehidupan kita, baik yang ditandai oleh penderitaan maupun oleh pengejaran kekudusan yang sungguh-sungguh, dimaksudkan untuk menjadi bejana transparan. Dalam bejana yang transparan itu dunia dapat melihat terang dan kehidupan Kristus. Dalam kehidupan yang demikian, kita memberikan segala kemuliaan kepada Dia yang memungkinkan kita untuk menjalani paradoks yang luar biasa ini.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *