Memberi dengan sukacita (18 Juni 2025)

Renungan dari bacaan 2 Korintus 9 :6-11 dan Matius 6 : 1-6.16-18
“Hendaklah masing-masing memberi menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Korintus 9:6-11)

“Wah, tagihan listrik bulan ini kok tinggi sekali ya? Perasaan baru gajian, sudah mau habis lagi!” keluh Budi pada istrinya, yang Bernama Santi, suatu malam. Mereka berdua memandangi lembaran tagihan dengan wajah cemberut. Di sampingnya, daftar kebutuhan bulanan menumpuk: uang sekolah anak, cicilan motor, belanja dapur, dan setumpuk “amplop” sumbangan untuk berbagai acara di lingkungan rumah mereka. Budi dan Santi sebenarnya sedang bergumul dengan sesuatu yang sangat akrab di telinga kita: bagaimana mengelola uang yang pas-pasan dan terbatas, bahkan sering terasa kurang? Dalam pikiran mereka, ada bisikan-bisikan: “Nanti dulu deh sumbangannya, kita sendiri lagi susah,” atau “Ini kan untuk masa depan anak-anak, harus ditabung semua, atau untuk kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendesak, tanpa dapat diduga pengeluarannya oleh kita.”

Pernahkah kita menghadapi situasi dan merasakan hal yang sama seperti situasi di atas? Ketika amplop persembahan diedarkan di gereja, atau ada ajakan untuk membantu korban bencana, rasanya ada pergumulan batin dalam hati dan pikiran kita. Kita ingin membantu, tetapi di sisi lain, kebutuhan pribadi terasa menggunung. Firman Tuhan mempunyai nasihat yang bijak: “Perhatikanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Korintus 9:6). Ini bukan tentang janji kekayaan instan, tetapi tentang prinsip dasar kehidupan. Coba bayangkan Pak Tani. Kalau dia cuma menabur sedikit benih, jangan harap panen melimpah ruah. Kalau dia menabur banyak, dengan upaya dan kerja keras, panennya pasti akan lebih baik dan lebih banyak. Begitu juga dengan hidup kita. Ketika kita memberi, entah itu uang, waktu, tenaga, pikiran, talenta, atau senyuman, kita sedang menabur.

Masalahnya, seringkali memberi terasa seperti beban. Ada yang memberi karena malu kalau tidak memberi, ada yang karena terpaksa oleh peraturan, atau bahkan ada yang memberi sambil bersungut-sungut. “Duh, harusnya uang ini bisa untuk beli baju baru,” pikirnya. Nah, di sinilah kunci pentingnya: “Hendaklah masing-masing memberi menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2Kor. 9:6-11).

Ada kisah tentang, Lia? Dia seorang mahasiswa yang hidup pas-pasan. Uang sakunya selalu mepet. Suatu hari, ia melihat seorang nenek tua kesulitan membawa belanjaan. Tanpa pikir panjang, Lia menawarkan diri membantu. Dia mengangkat belanjaan nenek itu sampai ke rumahnya, bahkan menawarkan diri untuk membantu membersihkan halaman rumah si nenek, karena melihat nenek itu sudah sangat tua. Lia tidak meminta bayaran, dan ia melakukannya dengan hati yang gembira, penuh sukacita dan senyum yang tulus. Apa yang terjadi? Si nenek, yang ternyata tidak sebatang kara, terharu dan akhirnya mengenalkan Lia pada cucunya yang sedang mencari asisten pribadi. Lia mendapatkan pekerjaan itu dan gajinya bisa membantu kuliahnya. Lia memberi waktu dan tenaganya dengan sukacita, dan ia “menuai” pekerjaan yang ia butuhkan.

Mungkin ada yang berpikir, “Kalau saya memberi, nanti saya tidak punya apa-apa.” Ini adalah ketakutan yang wajar. Namun, firman Tuhan memberikan janji yang luar biasa: “Lagi pula, Allah sanggup melimpahkan segala anugerah kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam berbagai perbuatan baik” (2 Korintus 9:8). Pernahkah Anda melihat orang yang justru semakin diberkati ketika ia semakin murah hati? Ini bukan kebetulan. Tuhan adalah sumber segala berkat. Dia bukan hanya mencukupi kebutuhan kita, tetapi Dia bahkan bisa melimpahkan kepada kita kelebihan. Kelebihan ini bukan untuk kita timbun, tapi agar kita bisa melakukan lebih banyak kebaikan lagi!

Misalnya, Pak Doni, seorang pengusaha kecil. Awalnya bisnisnya biasa-biasa saja. Tetapi, ia punya kebiasaan unik. Setiap kali ia mendapat proyek, ia selalu menyisihkan sebagian kecil untuk membantu panti asuhan atau gereja. Bukan karena ia kaya raya, tetapi karena ia percaya prinsip memberi. Anehnya, semakin ia memberi, semakin lancar usahanya. Pelanggan datang dari mana-mana, dan rezekinya terus bertambah. Ia menyadari, kelebihan itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga agar ia bisa lebih banyak menolong orang lain, seperti yang dikatakan dalam 2Kor. 9:10  “Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya serta menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;”

Akhirnya, firman Tuhan menutupnya dengan sangat indah dan manis: “Kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami” (2 Kor. 9:11). Ketika kita memberi dengan hati yang rela dan sukacita, bukan saja kita yang diberkati, tetapi orang lain pun akan bersyukur kepada Allah karena kemurahan hati kita. Bayangkan betapa indahnya melihat orang lain tersenyum karena bantuan kita, dan mereka memuliakan Tuhan karena kebaikan itu. Ini adalah lingkaran berkat yang tidak ada habisnya.

Jadi, mari kita belajar dari Budi dan Santi, dari Lia, dan dari Pak Doni. Mari kita lihat “amplop” sumbangan atau ajakan untuk memberi bukan sebagai beban, melainkan sebagai kesempatan untuk menabur. Ingatlah, Tuhan tidak melihat seberapa banyak yang kita beri, tetapi bagaimana, suasana hati, serta ketulusan hati kita, saat kita memberi? Sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *