MENJADI UTUSAN YANG BERKOMINTMEN PENUH (6 Februari 2025)

Renungan dari bacaan: Ibrani 12 : 18 – 19, 21 – 24; Mark 6 : 7 – 13
“kebaskanlah debu yang di telapak kakimu” (Mrk. 6:11).

Pesan Yesus kepada para murid yang diutus-Nya agar jangan membawa apa-apa dalam perjalanannya mengingatkan saya akan cerita para misionaris modern yang hendak berangkat ke tanah misi. Mereka sibuk mempersiapkan bekal untuk perjalanan dan hidup di daerah misi yang baru. Umat juga membekali mereka dengan aneka barang sehingga mereka pusing dengan koper yang harus dibawa. Begitu banyak yang harus dibawa seakan-akan di tempat yang baru nanti tidak dapat ditemukan barang-barang untuk kebutuhan esensial mereka. Banyaknya barang membuat seorang misionaris tidak bisa fokus mengawasi semua bawaannya, dan akhirnya stress berat setelah tahu kopernya hilang ketika keluar dari airport. Apakah Yesus sudah melihat kemungkinan seperti itu, ketika Ia mengutus murid-murid-Nya? Ia tidak ingin mereka pusing memikirkan barang bawaan. Namun, tujuannya tampaknya lebih jauh dari sekedar menghindari kejadian seperti itu.

Mereka tidak diperbolehkan membawa apa-apa, baik roti maupun uang untuk melatih mereka memiliki kepercayaan total kepada penyelenggaraan ilahi. Mereka tidak boleh memakai dua baju (Mrk. 6:9), yaitu mengenakan baju dalam yang halus  di bawah jubahnya yang kasar. Sedikit berbeda dengan Markus, Lukas mengatakan mereka juga dilarang membawa dua helai baju (Luk. 9:3). Tentu saja maksudnya bukan tidak perlu mengganti pakaian, alias jorok, melainkan percaya bahwa Tuhan akan menyediakan makanan dan baju melalui orang yang mereka layani. Yang boleh dibawa hanyalah tongkat dan alas kaki, karena keduanya merupakan kebutuhan esensial dalam menempuh perjalanan panjang, mengarungi medan misi yang berbahaya, seperti adanya perampok dan binatang buas.

Tidak membawa apa-apa juga merupakan suatu bentuk pewartaan tanpa kata, sikap hidup dan komitmen yang menopang isi pewartaan mereka tentang Kerajaan Allah. Mewartakan Kerajaan Allah berarti mewartakan bahwa Allah meraja, dan hal itu menuntut dari pihak penerimanya sikap mempercayakan diri pada Allah, membiarkan Allah meraja dalam dirinya. Dengan tidak membawa apa-apa mereka menyaksikan bahwa mereka sedang mempercayakan diri mereka sepenuhnya pada Allah. Yang harus mereka bawa dan tidak boleh diabaikan ialah pesan dan kuasa dari si Pemberi pesan: yakni pesan pertobatan dan kuasa mengusir setan dan segala akibat yang ditimbulkannya.

Sebagai seorang utusan, para murid harus juga siap menerima kemungkinan akan ditolak. Bagaimana jika mereka ditolak dan pewartaannya tidak didengarkan? Kita yang termasuk orang-orang Generasi Z atau Generasi Alpha, yang sangat menekankan kebebasan, mungkin akan santai saja dan berkata, “Tidak mau menerima, ya sudah!”  Namun, tidak demikian halnya pesan yang Yesus sampaikan kepada para murid. Mereka harus yakin sepenuhnya bahwa pewartaan mereka sangat penting dan sangat berbahaya jika ditolak. Untuk menunjukkan keyakinan itu, mereka harus keluar dari tempat orang itu dan “kebaskanlah debu yang di telapak kakimu sebagai kesaksian terhadap mereka” (Mrk. 6:11). Dengan tindakan simbolis itu mereka menunjukkan bahwa mereka mau memisahan diri mereka dari tanggung jawab dan nasib yang akan menimpa orang-orang yang menolak itu. Mereka menunjukkan kepada pendengarnya akibat dari sikap mereka: menolak utusan berarti menolak Dia yang telah mengutus dan yang diwartakan. Konsekuensinya sungguh mengerikan: dihukum pada hari pengadilan akhir.

Bisa jadi komitmen dan keyakinan seperti ini perlahan-lahan terkikis dalam diri kita, sehingga hari demi hari makin tipis. Kesaksian dan pewartaan kita pun semakin kurang meyakinkan, mungkin karena kita sendiri kurang yakin. Marilah kita mohon kepada Tuhan agar Ia menumbuhkan keyakinan pada diri kita, bahwa pewartaan tentang Kerajaan Allah sungguh-sungguh penting.  Isi pesanya jauh lebih penting daripada tetek bengek yang tidak berkaitan langsung dengannya.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *