(Renungan dari Bacaan Yesaya 62:1-5; Yohanes 2:1-11)
Ketika menghadiri undangan pesta perkawinan di Kana entah dari mana Maria tahu bahwa mereka kehabisan anggur. Apakah dari raut kecemasan yang menodai keceriaan tuan pesta? Apakah dari menyaksikan gelas-gelas kosong para undangan yang tidak segera diisi kembali? Apakah Maria telah masuk memeriksa persediaan anggur mereka? Yohanes tidak menyebutkannya. Namun, yang jelas kepekaan seorang ibu berhati mulia memang luar biasa. Mata hatinya tajam menembus ruang dan waktu, membuatnya mampu melihat apa yang tidak kasat mata. Hati yang peduli mampu mengurai simbol-simbol kegelisahan. Ia tidak berhenti dalam keprihatinan, ikut merasakan semata, melainkan bertindak untuk memupus kegelisahan itu.
Maria berkata, “Mereka kehabisan anggur” (Yoh. 2:3). Hanya tiga kata. Sebuah pernyataan yang datar, tanpa tekanan, tanpa desakan, bahkan tanpa permohonan. Namun, kata-kata itu mengalir dari kasih putih, belarasa yang tulus hingga mengguncang dan meruntuhkan tembok pemisah ruang dan waktu belaskasihan. “Saat” yang belum tiba menjadi tiba. Perkawinan abadi di surga pun diantiisipasi dalam perkawinan di dunia, saat Sang Putra menjadi mempelai dan sekaligus Tuan pesta dalam perkawinan surgawi. Anggur lama diganti menjadi anggur mesianik. Kehidupan yang berlepotan aib pun disulap menjadi hidup yang bergelimang pujian dan kemuliaan.
Dengan penuh keyakinan bahwa kata-katanya didengarkan oleh Sang Putra, Maria berkata kepada pelayan-pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah itu!” (Yoh. 2:5). Dahulu, kata-kata serupa telah diucapkan oleh orang-orang Israel sebagai jawaban atas pertanyaan Musa yang menyampaikan undangan Tuhan untuk membuat perjanjian: “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel. 19:8). Namun, tidak lama kemudian mereka mengingkari apa yang mereka ucapkan. Maria tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Ia telah berkata, “Jadilah padaku menurut perkataan-Mu” dan ia membuktikan dirinya setia pada kata-katanya itu. Ia telah menjadi pelaku kehendak Allah, pelaku firman: Ia bukan saja mengandung, merenungkan Sang Sabda, melainkan juga melahirkan-Nya. Kini, ia pun menanamkan iman dan semangat yang sama pada diri pelayan-pelayan itu. Karena dia telah menunjukkan diri sebagai pelaku firman, kata-katanya pun penuh wibawa, dan pelayan-pelayan itu melakukan apa yang dipesankan Maria. Mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Yesus.
Saya teringat pesta pernikahan kami. Melihat begitu banyak tamu, gedung gereja di paroki Ksatrian Malang penuh, saya khawatir makanan yang disediakan tidak akan cukup. Saya bertanya kepada istri, “Apakah makanan yang dipesan akan cukup?” Ia mengangguk, “cukup”, bisiknya, walaupun tergurat garis-garis kecemasan di wajahnya. Pada waktu itu saya hanya menatap Maria, dan berbisik: “Bukankah Ibu sudah saya undang ke pesta yang kami selenggarakan”. Hati saya pun tenang. Ternyata makanan melimpah, dan banyak undangan yang memuji makanannya sedap. Satu rombongan dari Surabaya tidak ikut makan, alasannya mereka khawatir makanan tidak akan cukup dan mereka tidak ingin saya malu karena hal itu. Namun, saya katakan: kalian keliru besar. Makanan melimpah dan masih sisa cukup banyak. Ada kalanya perlu juga berbisik kepada Maria, berbisik dalam iman yang dalam, “Ibu, kami kehabisan anggur”.

Penulis
