Renungan hari ini dari bacaan : Ezra 9:5-9, Lukas 9:1-6. “Sekarang, baru saja kami alami kasih karunia dari pada TUHAN, Allah kami yang meninggalkan pada kami orang-orang yang terluput, dan memberi kami tempat menetap di tempat-Nya yang kudus, sehingga Allah kami membuat mata kami bercahaya dan memberi kami sedikit kelegaan di dalam perbudakan kami” (Ezra 9:8). |
Mungkin sebagian besar dari kita pernah berada dalam situasi kehidupan yang sulit, serba terjepit, ruang gerak yang terbatas, sementara banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan banyak mimpi serta harapan belum tercapai.
Mungkin sebagian dari kita terhimpit oleh beban ekonomi, sehingga banyak hal tidak dapat kita lakukan. Ingin menyekolahkan anak setinggi mungkin, tapi dana terbatas. Ingin menjadi berkat membantu orang lain, tapi diri sendiri masih kekurangan.
Mungkin sebagian lagi memiliki keterbatasan fisik. Ada yang fisiknya ringkih, sehingga tidak bisa berbuat banyak. Ada yang ingin lebih banyak waktu melayani, tapi pekerjaan yang menumpuk menyita waktu dan tenaga. Ada juga yang sudah memiliki banyak waktu luang karena memasuki masa pension, tetapi fisik sudah renta.
Ada yang berada dalam konflik, atau situasi yang menyulitkan di pelayanan atau pekerjaan. Ingin berbuat lebih banyak kebaikan, tapi kebijakan institusi mengatur dan membatasi ruang gerak kita. Ada banyak hal lain yang membuat kita berada dalam keterbatasan, sementara masih banyak pelayanan yang harus dilakukan.
Dalam Ezra 9:8-9, imam Ezra menaikkan rasa syukur, bukan karena situasinya telah menjadi ideal. Keadaan mereka saat itu masih sebagai bangsa jajahan yang harus tunduk pada Kerajaan Persia. Mereka belum menjadi bangsa yang merdeka, masih miskin dan menjadi budak bangsa asing. Tetapi, Ezra berkata bahwa dalam segala keterbatasan itu mereka mengalami kasih karunia Allah, karena Allah masih memelihara mereka. Allah membuat mereka dikasihi oleh raja Persia, sehingga mereka bisa diizinkan kembali pulang ke Yudea, bahkan membangun kembali Bait Allah, sehingga mereka dapat beribadah kembali di Yerusalem.
Bangsa Israel sebelum zaman pembuangan adalah bangsa yang takabur dan melupakan Allah. Kepahitan hidup di pembuangan membuat mereka bertobat, dan ketika mereka bertobat Allah membawa mereka kembali ke negerinya tetapi dalam keterbatasan. Secara lahiriah mereka terbatas, tidak dipulihkan sepenuhnya seperti kejayaan masa lalu. Namun, secara rohani mereka mengalami bukti pemeliharaan Allah, mereka dapat membangun kembali Bait Suci dan beribadah kembali kepada Allah.
Sering kali Allah membuat keadaan yang terbatas demi menyelamatkan jiwa kita secara kekal. Pemulihan dan pemeliharaan yang bersifat lahiriah, entah harta, kejayaan, dan kehormatan hanya bersifat fana dan mungkin bisa membuat kita takabur dan melupakan Allah. Namun, pemeliharaan Allah yang dimulai dari pemulihan jiwa dan roh, membawa dampak yang kekal.
Demikian juga ketika Yesus mengutus para murid (Luk. 9:1-6), Ia sengaja mengutus mereka tanpa bekal agar mereka belajar bahwa pemeliharaan Allah lebih dapat diandalkan daripada sumber daya manusiawi. Dalam perjalanan pelayanan itu mereka menghadapi banyak keterbatasan: lapar, haus, tempat tinggal yang belum pasti. Namun, pemeliharaan Allah hadir melalui kuasa yang diberikan, serta melalui keramahan orang-orang yang mau menerima mereka.
Ini menunjukkan bahwa pemeliharaan Allah selalu cukup bagi kita, kita tidak akan kekurangan tapi juga bukan berlebihan. Murid-murid tidak membawa perbekalan, tetapi mereka tidak kekurangan. Allah pasti mencukupkan apa yang diperlukan untuk misi yang diberikannya.
Keterbatasan sering kali dipandang sebagai kelemahan. Namun, Alkitab menunjukkan bahwa justru dalam keterbatasanlah iman kita ditempa. Murid-murid belajar bahwa meski tanpa bekal, Allah sanggup mencukupkan kebutuhan mereka. Bangsa Yahudi melihat karya dan kemurahan Allah justru dalam keterbatasan dan kemustahilan melalui kemurahan hati raja Persia.
Pemeliharaan Allah membentuk kita melalui keterbatasan. Tanpa keterbatasan, kita cenderung bersandar pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Dengan keterbatasan, kita diajar untuk menaruh harapan hanya pada Allah.
Syukuri anugerah kecil. Seperti Ezra yang melihat kemurahan Allah lewat raja Persia, kita pun harus belajar menghargai setiap bentuk pemeliharaan Allah, sekecil apa pun itu. Miliki iman yang teguh pada Allah. Seperti murid-murid, yang berani melangkah walaupun tanpa bekal yang cukup, sebab yang menyertai kita adalah Allah yang setia.
Jadikan keterbatasan sebagai kesempatan belajar. Keterbatasan bukan hukuman, melainkan sarana didikan dan pembentukan iman yang membuat kita semakin dekat kepada Allah.
Penulis

