Renungan dari bacaan Yesaya 50:4-9a, Matius 26:14-25 ” Bukan aku, ya Tuhan?” (Matius 26: 22 ) |
Akhir-akhir ini kita sering mendengar bagaimana orang bisa menggadaikan agamanya dengan kedudukan, popularitas, dan cinta. Hal ini bisa saja terjadi dalam keluarga kita, sanak saudara kita, atau pun dalam lingkup circle pergaulan kita. Betapa mudahnya orang meninggalkan imannya akan Yesus Kristus.
Matius 26:14-25 mengajak kita masuk ke dalam kisah perpisahan Yesus dengan para murid-Nya, yang diwarnai oleh penyerahan diri secara total bagi dunia dan pengkhianatan seorang murid kepercayaan-Nya. Yudas Iskariot tega mengkhianati Yesus dengan melakukan kesepakatan dengan para imam kepala yang sejak lama berusaha untuk melenyapkan Yesus. Sangat menyedihkan karena yang mengkhianati Yesus adalah Yudas Iskariot yang merupakan orang yang berada dalam lingkup terdekat Yesus. Dia merupakan salah satu dari dua belas rasul, dan merupakan orang kepercayaan dalam komunitas ini. Ia menjabat sebagai bendahara yang mengatur semua kebutuhan komunitas kedua belas rasul bersama Kristus . Di balik kepercayaan yang diberikan itu, Yudas yang sangat mencintai uang, terperangkap dalam dosa pengkhianatan walaupun telah sekian lama mengikuti Yesus. Ia tega menggadaikan cinta dan kesetiaannya dengan melakukan kesepakatan dengan para imam kepala untuk menukar Yesus dengan tiga puluh uang perak, harga tebusan seorang budak. Sangat mengenaskan Yesus dihargai tidak lebih dari harga seorang budak.
Setelah transaksi jual beli dilaksanakan, Yudas hanya menunggu saat yang tepat untuk menyerahkan Yesus kepada para imam kepala. Ketika Yesus mengadakan perjamuan malam terakhir bersama para murid-Nya, Yudas tidak merasa sungkan untuk tetap bersama mereka. Ia bermuka dua dan bersikap seolah-olah semuanya baik- baik saja. Pengkhianatannya tidak disangka sama sekali oleh para rasul lainnya. Mereka kebingungan dan sedih ketika Yesus menyatakan bahwa di antara mereka ada yang akan menyerahkan-Nya ke tangan musuh- musuh-Nya. Para rasul bertanya-tanya, “Bukan aku, ya Tuhan? dan Yudas pun pura- pura tidak tahu dan berlagak tidak berdosa, katanya, “Bukan aku, ya Rabi?”
Bisa kita perhatikan, para rasul yang lain memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan,” tetapi Yudas memanggil Yesus dengan sebutan “Rabi,” yang artinya guru. Ketika para rasul merasa sedih, Yesus tetap tegar menghadapi saat-saat akhir hidup-Nya dan menunjukkan jati diri-Nya sebagai Mesias yang sesungguhnya. Penderitaan Yesus di kayu salib menjadi bukti cinta-Nya kepada umat-Nya sampai sehabis-habisnya. Sepertinya Yudas belum mengenal pribadi Yesus yang sebenarny. Ia mau mengambil keuntungan dengan menjual keunggulan dan kuasa Yesus serta mengharapkan Yesus sebagai Mesias politik yang mampu melawan penjajah Romawi melalui jalan kekerasan dan kuasa manusia. Namun, pemikiran ini berbeda jauh dengan apa yang dikehendaki Yesus, sang Guru. Yudas gagal paham mengenai Kerajaan Allah yang melekat pada pribadi Yesus.
Kita diingatkan untuk tidak menjadi “Yudas-Yudas lain”, walaupun di sekitar kita banyak godaan yang mampu membuat kita menjauh dari Yesus. Tetaplah menjadi murid yang baik dan setia. Jangan sampai kita menggadaikan cinta dan kesetiaan kita kepada Yesus hanya demi mengejar harta duniawi yang semu. Kita harus meneladani Yesus, walaupun ditinggalkan para murid-murid-Nya saat menjalani sengsara, Ia tidak meninggalkan murid-murid-Nya.
Nabi Yesaya menegaskan kebanggaan imannya yakni kesetiaan kepada Tuhan, bukan pengkhianatan, dengan selalu menyerahkan diri pada pertolongan Tuhan dan terus menyerukan pertobatan. Yesaya bernubuat tentang murid yang setia, yang selalu mendengarkan dan patuh dalam melaksanakan apa yang telah diajarkan oleh sang guru, meskipun harus mengalami banyak tantangan dan penderitaan.
Marilah kita merefleksikah hubungan pribadi kita dengan Yesus. Apakah kita sudah berusaha setia sebagai murid-Nya? Apakah kita akan berkhianat kepada-Nya? Sudah saatnya kita harus berbenah dan mempersiapkan diri agar tidak terbenam dalam keduniawian dan rohani yang suam-suam kuku. Kita diajak untuk bertobat dan kembali ke pangkuan Yesus di mana Yesus selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk kembali kepada-Nya. Dia selalu membuka kedua tangan-Nya bagi kita walaupun kita telah menjual-Nya dan mengkhianati-Nya dengan segala macam tujuan. Dia tetap setia menunggu kita untuk kembali kepada-Nya. Yesus telah mengorbankan nyawa bagi keselamatan umat manusia, agar kita mengasihi Tuhan dan sesama dengan total dan tanpa pamrih.
Penulis

