Sakit Jiwa (8 Maret 2025)

Bacaan : Yesaya 58: 9b-14; Lukas 5:27-32
“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat. (Luk.  5:31-32)

Berdasarkan laporan tahun 2021 dari kementrian Kesehatan RI, 20 % atau 1 dari 5 penduduk Indonesia berpotensi mengalami masalah gangguan jiwa.[1] Bayangkan, jika kita sedang berkumpul bersama 10 orang teman, maka bisa jadi 2 orang di antara kita berpotensi memiliki masalah kejiwaan. Mengapa angka gangguan kesehatan mental ini demikian besar? Ada beberapa alasan, tetapi untuk kesempatan ini saya akan membahas dua alasan saja.

            Pertama, memang pengetahuan tentang kesehatan mental pada masyarakat Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia barat, sehingga orang yang membutuhkan pertolongan mengenai masalah mental akan cenderung distigma buruk. Orang yang datang pada psikolog atau psikiater dianggap gila. Akibatnya, orang menjadi enggan untuk membuka diri mengenai masalahnya. Orang takut mencari bantuan professional karena merasa malu bila ketahuan.

Kedua, orang yang mengalami gangguan pada mentalnya, seringkali tidak menyadari sakitnya itu. Jika orang sakit fisik, gejalanya terasa jelas olehnya, misalnya pusing, mual, nyeri otot, dll. Gejala tersebut membuat segala aktivitasnya akan terganggu, dia tidak bisa bekerja, makan apa pun menjadi tidak enak, bahkan tidur pun tidak nyenyak ketika tubuhnya sakit. Oleh karena itu, orang yang merasa sakit pada tubuhnya akan segera mencari obat atau ke dokter supaya lekas pulih kembali. Tetapi, orang yang mengalami masalah kesehatan mental, fisiknya baik-baik saja, masalahnya adalah pada mentalnya, sehingga dia tidak bisa berpikir dengan benar dan menyadari bahwa dirinya bermasalah. Jadi, jika orang tidak menyadari ada masalah dalam dirinya, bagaimana dia bisa mencari pertolongan untuk menjadi pulih padahal dia tidak merasa sakit.

Demikian juga kisah pertobatan Lewi si pemungut cukai dalam Lukas 5:27-32. Orang Yahudi menganggap seorang pemungut cukai adalah penghianat bangsa, mereka dijauhi, dibenci, dan dianggap sebagai pendosa besar. Sementara Yesus adalah seorang rabi (guru) yang sangat terkenal di daerah Galilea, karena mukjizat-mukjizat yang dilakukan-Nya, dan karena kecerdasannya dalam mengajar, dan mungkin saja Lewi pernah mendengar pengajaran-Nya.

Lewi menyadari keberadaannya ini, dia mungkin sudah lelah dengan stigma buruk yang melekat kepadanya, tapi siapa yang mau menerimanya kembali? Orang-orang sebangsanya sudah mencapnya demikian, mereka memusuhinya, stigma pendosa yang harus dijauhi sudah melekat kepadanya. Oleh karena itu, ketika Yesus melewati meja kerjanya, dan mengundangnya untuk bergabung menjadi murid-Nya, Lewi tidak ingin melepaskan kesempatan emas itu. Maka tidak heran ia segera meninggalkan segalanya, ia mungkin berpikir, inilah saatnya untuk memulai sesuatu yang baru, dan Yesus memberinya kesempatan, mengundangnya untuk masuk dalam sebuah komunitas yang menerima dia apa adanya. Sebuah penerimaan yang lama ia dambakan, bukan penghakiman atau kebencian. Maka tekadnya sudah bulat, dan tanpa perlu berpikir dua kali dia meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus.

            Di sisi lain, orang-orang Farisi mengkritik sikap Yesus yang menerima Lewi, bahkan masuk ke rumahnya dan duduk makan bersama dengannya. Untuk masuk ke sebuah rumah dan duduk makan bersama itu menandakan sebuah persahabatan yang erat, dan orang Farisi menghindari duduk bersama orang berdosa supaya mereka tidak turut menjadi pendosa (Mzm. 1:1; Ams. 13:20). Memang Firman tersebut benar, tujuannya agar orang benar tidak dikhamiri oleh orang jahat dan kelakuannya menjadi sama dengan orang jahat.

Namun, orang Farisi merasa dirinya benar, tidak menyadari ketidakberkenanan diri mereka di hadapan Allah. Mereka tidak sadar bahwa mereka sombong dan memiliki hati yang tidak berbelas kasihan. Sebab, mereka tidak menyadari sakit rohani yang ada pada dirinya. Mereka merasa tidak memerlukan pertobatan (kesembuhan), seperti orang yang sakit jiwanya. Maka Yesus berkata bahwa, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” Yesus menerima orang-orang berdosa yang mau berubah, meninggalkan segala dosanya dan menjadi pengikut-Nya.

Di dunia ini, Gereja atau persekutuan orang percaya adalah seperti sebuah rumah sakit yang besar, di mana setiap kita mungkin memiliki sakitnya masing-masing. Namun, ketika kita dengan rendah hati menyadari “kesakitan” atau keberdosaan kita, maka kita tidak akan dengan mudah menghakimi orang lain (Yes. 58:9). Kita semua orang sakit, dengan sakit yang berbeda-beda, ada yang sombong dan suka menghakimi orang lain seperti orang Farisi, ada yang materialis seperti pemungut cukai, dan lain sebagainya. Namun, kita semua sama-sama sedang dalam proses menuju kesembuhan. Mari saling berbelas kasih dan saling mendukung dan menguatkan dalam perjalanan “pengobatan” kita, sampai akhirnya sakit di rohani kita sembuh, dan kita menjadi serupa dengan Kristus, berkenan di hadapan Bapa.


[1]https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *