Siapakah Engkau?

Tahun 2025 ini diawali dengan pertanyaan yang merupakan rangkuman keberadaan tahun-tahun sebelumnya: Siapakah engkau? Apakah pertanyaan ini relevan di tahun baru ini ataukah pertanyaan yang mengada-ada? Bukankah tahun baru perlu ditanggapi dengan langkah sat-set?

Ketika menulis renungan ini, saya bertanya kepada Artificial Intelligence (AI), “siapakah engkau?” Menurut AI, pertanyaan itu terdapat dalam Kis.l 9:5 dan merupakan bagian dari percakapan Saulus dengan Yesus. Ketika Saulus rebah di tanah di dekat kota Damsyik, kota Damaskus sekarang ini, Saulus bertanya, “Siapa Engkau, Tuan?” Saya yakin kita semua masih mengingat dialog Saulus dengan Yesus.

“Siapakah engkau?” merupakan pertanyaan abadi. Pertanyaan yang akan ditanyakan oleh orang-orang yang baru kita jumpai. Pertanyaan ini muncul ketika orang masuk ke dalam lingkungan baru. Saya ingat betul, pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang aktivis paroki yang berpengalaman malang melintang saya ketika saya diangkat menjadi Dewan Paroki Harian. Walaupun pengalamannya luas dan sudah lama sekali di paroki, aktivis ini tidak pernah menyadari kehadiranku di paroki.

Kalau membaca perikop Yoh 1 : 19 – 28, pertanyaan “Siapakah Engkau?” diajukan oleh para pemuka Yahudi dari Yerusalem yang mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepada Yohanes Pembaptis (Yoh 1:19). Pertanyaan ini muncul setelah Yohanes Pembaptis mewartakan datangnya Kerajaan Allah, menyerukan pertobatan dan membaptis banyak orang sebagai tanda pertobatan.

Apakah Yohanes menyesatkan beberapa imam dan orang-orang Lewi yang bertanya itu? (bdk. 1 Yoh 2:22.26). Apakah ia mendustai mereka agar mendapatkan pengakuan, legitimasi tindakannya? Apakah ia menyesatkan mereka seperti banyak dicontohkan oleh pemuka agama atau pejabat keagamaan atau pemerintahan zaman ini?

Yohanes Pembaptis memilih menjawab apa adanya. Ia benar-benar menyadari siapa dirinya, keberadaannya, sebagai  “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan Nabi Yesaya.” (Yoh. 1:23, bdk. Yes. 40:3). Yohanes tidak pernah mengakui dirinya sebagai Mesias atau Nabi. Malahan Yohanes menggunakan kesempatan berdialog ini untuk menyatakan kehadiran Sang Mesias, Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:26-27).  Menurut Yohanes Penginjil, Yohanes Pembaptis adalah utusan Allah (Yoh. 1:6-8). Apakah sebagai pengikut-Nya zaman ini kita juga sadar siapa diri kita dalam setiap tindakan kita? Atau apakah kita akan meneladani Yohanes Pembaptis yakni menjalani dan mengisi Tahun 2025 ini dengan kesadaran penuh akan siapa diri kita?

Bayangkanlah diri kita bernapas, makan, minum, berkegiatan, beribadah, beristirahat, menikmati hari sepenuhnya dalam kesadaran sebagai pengikut-Nya, membawa terang dalam kegelapan, kepastian dalam ketidakpastian, harapan dalam situasi suram.

Yohanes yang lain, penulis Surat Yohanes yang pertama, mengingatkan kita agar tidak menjadi pendusta, antikristus (1 Yoh 2:22). Seruan ulangan ini mengingatkan kita kepada laku hidup Yohanes Pembaptis.  Apakah tahun 2025 ini menjadi kesempatan untuk mewartakan Kabar Gembira? Jalan menuju hidup kekal (1 Yoh 2:25)?

Dalam ritus Katolik Roma, pembacaan Injil diawali dengan pernyataan “Inilah Injil Yesus Kristus menurut…. .” disusul dengan perbuatan tanda: ibu jari umat dan imam menandai dahi, bibir, dan dada. Perbuatan tanda ini merupakan ungkapan iman yang menandaskan bahwa Kabar Gembira ini dimeteraikan di otak, mulut, dan hati dengan tangan masing-masing. Sebagai orang yang sudah ditebus, seluruh kehadiran kita menunjukkan jalan menuju ke kehidupan kekal yang sudah diwartakan oleh Yohanes Pembaptis dan para rasul serta Gereja zaman ini.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *