Standar Normal Saja Tidak Cukup (17 Juni 2025)

Renungan dari bacaan 2 Korintus 8 : 1-9 dan Matius 5 : 43 – 48
“Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga sempurna (Mat. 5:48)

Bagi standar dunia ini mata ganti mata dan gigi ganti gigi adalah wajar. Orang tua mengajarkan kita tentang utang budi, artinya jika ada orang yang pernah berbuat baik, kita harus membalas budi baik orang tersebut. Sebaliknya bila ada orang yang pernah berbuat jahat kepada kita, akan dianggap wajar jika kita memiliki rasa benci atau sekadar rasa tidak suka kepada orang tersebut. Akan dianggap wajar bila suatu saat, ketika orang yang pernah menjahati kita membutuhkan bantuan, kita membiarkannya.

Ketika kita dikhianati, kita ditikam oleh orang yang kita percayai, mungkin kita tidak membalas, dan kita merasa sudah cukup baik, karena tidak membalas dengan kejahatan yang sama. Namun, kita berdoa agar Allah menunjukkan keadilan dengan membalaskan rasa sakit hati kita, dan jauh di lubuk hati kita berharap agar orang itu mengalami apa yang kita rasakan bahkan lebih dari itu. Kita mungkin menyimpan rasa sakit dan baru bisa merasa puas dan kembali bahagia jika orang yang telah menyakiti kita mengalami sesuatu yang buruk.

Hal ini adalah standar normal dunia, bukan standar Kerajaan Allah. Hal ini adalah standar anak-anak dunia, namun bukan standar anak-anak Bapa di surga. Sebab, Kerajaan yang Bapa sediakan bagi kita bukanlah dari dunia ini, karena itu nilai-nilai yang menjadi standar pun berbeda.

Yesus berkata, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?” (Mat. 5:46). Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah standar pemungut cukai, standar seorang yang dianggap jahat dan orang berdosa. Tidak ada reward dari Allah bagi mereka yang memegang standar moral yang dianggap baik menurut ukuran orang berdosa.

Yesus berkata, “Apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Mat. 5:47). Yesus ingin kita memiliki standar moral yang lebih baik dari orang-orang yang tidak mengenal Allah, sebab setiap manusia bisa menjadi baik, tanpa harus mengenal Allah. Apa istimewanya umat Kristen disebut anak-anak Allah jika ia tidak memiliki kehidupan yang lebih agung daripada orang-orang yang dianggap baik menurut standar dunia ini.

Standar moral anak-anak Bapa di surga haruslah mengacu pada standar moral Bapanya. Bapa yang mencurahkan rahmat-Nya kepada orang baik dan orang jahat, Bapa yang memberikan berkat-Nya kepada orang benar maupun orang yang tidak benar (Mat. 5:45). Karena itu, Yesus berkata, “haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga” (Mat. 5:48). Ini adalah sebuah keharusan, sebuah kalimat perintah. Sama seperti yang pernah Allah sampaikan melalui Musa, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (Im. 19:2), atau “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela” (Ul. 18:13). Jika Allah memberi perintah ini kepada anak-anak-Nya, pastilah perintah ini wajib kita lakukan dan dapat kita kerjakan.

Sebagai seorang manusia, kita tidak mungkin menyuruh hal yang mustahil dilakukan oleh anak kita. Sebagai manusia kita memberi tugas kepada anak-anak kita sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya, sehingga sepantasnya kita menghukum anak bila mereka tidak melakukan tugas yang kita berikan. Demikian juga Bapa kita yang di surga. Jika Dia memberikan perintah, pastilah perintah itu  perintah yang dapat kita jalankan, atau Dia akan memberikan kekuatan melalui Roh Kudus-Nya agar kita dapat melakukan kehendak-Nya. Roh Kudus-Nya telah diberikan, telah dicurahkan. Masalahnya kembali kepada diri kita masing-masing, apakah kita mau taat kepada-Nya, atau masih saja mencari banyak alasan dan bersikap permisif terhadap dosa-dosa kita.

Jika kita menyebut diri kita sebagai anak-anak Allah, seharusnya kita memiliki standar moral Allah, bukan standar moral yang dianggap normal oleh dunia ini.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *