Tidak Menghakimi Melainkan Mengampuni (6 April 2025)

Yesaya 43: 16 – 21 Yoh. 8:1-11
Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan mulai sekarang, jangan berbuat dosa lagi.” (Yoh. 8:11)

“Guru, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berzina. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu. Bagaimana pendapat-Mu tentang hal itu?” (Yoh. 8:4-5). Pertanyaan jebakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini tidak kalah serunya dengan jebakan Batman. Jika Yesus mengatakan, “Kalian harus mengampuni perempuan itu”, Ia akan dituduh melanggar hukum Musa. Sebaliknya, jika Ia mengatakan, “Lempari saja dengan batu”, Ia akan dituduh melawan ajarannya sendiri: cinta kasih, pengampunan. Namun, bagi Yesus jebakan itu sangat sepele, bahkan menjadi kesempatan untuk memperdalam ajaran-Nya: Mengapa orang harus mengampuni sesamanya dan bukannya menghakiminya.

Saya teringat akan satu teman yang datang dari jauh untuk menemui saya di Roma, hanya untuk memberikan kabar gembira bahwa ia telah mengampuni saudarinya. Pernah karena begitu bencinya ia kepada saudarinya itu, yang ia anggap kikir, tidak peduli dengan orang tua dan saudara, bahkan selalu menyusahkan, sampai-sampai ia bersumpah, “Sampai mati pun saya tidak akan mau melihat mukanya”. Pandangannya begitu buruk terhadap saudarinya. “Cobalah mengampuni dia, hidupmu akan jauh lebih indah dan ia akan tampak jauh lebih cantik, bila kau mengampuninya. Sebab, Allah mengasihi dia dan Allah juga telah mengampunimu”, begitu kurang lebih saya katakan kepadanya. Namun, waktu itu ia hanya tersenyum sinis. “Orang seperti itu, tidak layak diampuni”, mungkin hanya itu yang melintas di hati dan kepalanya.

Kasih Tuhan tidak pernah berhenti menjamah dia, untuk melembutkan hatinya. Suatu saat ia jatuh sakit dan hampir meninggal. Tiba-tiba dalam keadaan sekarat itu ia merasa Yesus datang menjamah dia, menyembuhkan Dia, mengampuni dia, dan sukacita yang luar biasa mengaliri nadinya. Suatu sukacita yang sulit digambarkan. Anehnya, yang pertama terbayang di wajahnya adalah wajah saudarinya yang ia benci itu. Wajah itu kini telah berubah karena Yesus telah menjamah hatinya. Tanpa pikir panjang dan tanpa rasa malu sedikit pun, ia menemui saudarinya, berlutut di depannya dan memohon maaf serta saling memaafkan. Pengampunan itu telah mendatangkan sukacita yang sangat besar, dan ia ingin membagikannya dengan saya. Saya menatap wajahnya dengan penuh haru. Saat itu pula terbayang di hadapan saya wajah Kristus yang menatap perempuan berzina yang telah siap menerima penghakiman dari orang-orang yang merasa dirinya saleh. Tampak wajah-wajah garang dengan pedang penghakiman di tangan dan mulut mereka. Namun, Yesus dengan lembut berkata, “Siapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh. 8:7).

Betapa mudahnya kita menghakimi orang lain dan memandang mereka sebagai pendosa yang tidak layak diampuni. Namun, kisah perempuan berzina ini menunjukkan bahwa kesadaran sebagai orang berdosa, sungguh-sungguh berdosa, akan memampukan kita mengampuni sesama dan tidak gampang menghakimi mereka. Kesadaran ini mengandaikan kita selalu meluangkan waktu untuk mewas diri, untuk diam sejenak, melihat ke dalam, ke diri kita, merefleksikan perbuatan dan kata-kata kita sendiri. Di saat kita menyadari kekurangan kita, dosa-dosa kita, dan pengampunan yang Allah berikan kepada kita, saat itulah kita akan tergerak juga untuk tidak mengingat-ingat dan mencatat kesalahan-kesalahan orang lain di hati kita, melainkan hanya di atas tanah. Hembusan lembut angin senja sudah dapat menghapusnya.

Mari saudara-saudariku, kita tumbuhkan semangat mengampuni dan membuang semua kecenderungan untuk menghakimi orang lain melalui kesadaran bahwa kita telah menerima pengampunan yang luar biasa dari Tuhan. Dia telah mengampuni kita dengan menumpahkan darah-Nya. Jangan kita sia-siakan pengampunan itu dengan membagikannya pula kepada sesama.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *