(Renungan dari Bacaan: Ibrani 7: 1-3 .15-17; Markus 3: 1-6)
Melkisedek, raja Salem, menyongsong Abraham yang kembali dari peperangan mengalahkan raja-raja dan memberkati dia (Ibr. 7:1; bnd. Kej. 14:17-20). Dia bukan hanya seorang raja melainkan juga Imam Allah Yang Maha Tinggi, yang diurapi secara luar biasa untuk menjadi imam Allah di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi. Imamatnya merupakan prototipe imamat Yesus Kristus, yang menjadi Imam Besar bukan berdasarkan keturunan, melainkan “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek.” (Ibrani 7: 17). Yesus adalah Imam Allah yang Mahatinggi, dan hanya melalui imamat-Nya kita dapat memperoleh pendamaian dan pengampunan dosa. Sejak masa Abraham, Allah telah menyatakan tentang Anak-Nya yang tunggal melalui figur Melkisedek. Namun, tidak banyak orang yang mengenali-Nya dan percaya. Pada saat Yesus benar-benar datang ke dunia, banyak orang juga tidak percaya kepada-Nya, antara lain orang-orang Farisi.
Orang-orang Farisi yang terkenal sebagai ahli hukum Taurat dan sangat ketat dalam pelaksanaannya, bukan hanya tidak percaya kepada Yesus, melainkan juga berupaya mencelakai Dia. Kesempatan pun tiba. Di rumah ibadat pada hari sabat ada seorang yang tangannya mati sebelah. Tidak ada seorang pun yang peduli akan kondisi orang tersebut. Karena besarnya kasih Yesus kepada orang itu, Ia ingin menyembuhkannya. Orang Farisi dan orang Herodian yang selalu mengamat-amati aktivitas Yesus, melihat peluang untuk mempersalahkan Yesus, yakni melakukan pekerjaan penyembuhan pada hari Sabat. Sebab, hukum Sabat melarang orang melakukan pekerjaan pada hari Sabat.
Yesus mengetahui apa yang ada di benak mereka. Penekanan pada formalitas aturan agama telah membuat mereka menjadi orang yang kaku dan keras hati, bahkan mengutamakan pelaksanaan aturan daripada perbuatan kasih. Untuk mengoyak pandangan mereka yang sempit, Yesus mengajukan pertanyaan: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuhnya?” (Mrk. 3:4). Mereka semua tidak menjawab, hanya diam. Sebetulnya mereka tahu apa yang seharusnya menjadi jawabannya, tetapi mereka diam, karena mereka tidak mau mengakui kebenaran yang diucapkan Yesus.
Yesus mengajarkan bahwa hari Sabat adalah hari yang dikhususkan untuk beribadah kepada Tuhan sebagai ungkapan syukur dan kasih kita kepada-Nya. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi sesama kita. Untuk itu apabila pada hari Sabat ada orang yang membutuhkan pertolongan yang sifatnya mendesak, kita harus memberikan pertolongan. Inilah yang disebut wujud perbuatan baik berdasarkan kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus.
Yesus marah dan berduka atas kekerasan dan kedegilan hati mereka (Mrk. 3:5). Kekerasan hati telah membuat mereka tidak bisa dan tidak mau menerima kebenaran yang diajarkan Yesus, padahal ajaran itu tentang anugerah keselamatan. Kekerasan hati telah membuat orang Farisi bukannya bersyukur setelah menyaksikan kesembuhan orang yang tangannya mati sebelah, melainkan justru membuat rencana untuk membunuh Yesus. Mereka bahkan membuat rencana itu bersama para pendukung Herodes yang semula adalah musuh mereka. Demi melawan Yesus, musuh pun diajak bekerja sama. Ada kalanya memang orang yang bermusuhan bisa berdamai sementara waktu atau secara semu karena harus menghadapi musuh yang sama.
Apakah kita juga termasuk orang yang keras hati dan degil, sehingga tidak mampu melihat kebaikan orang secara positif, bahkan sebaliknya? Apakah kekerasan hati membuat kita mementingkan pelaksanaan aturan secara formal, menganggap yang penting aturan dilaksanakan, tidak peduli apakah hal itu berarti tiadanya kasih? Kedegilan telah membuat orang Farisi jauh dari anugerah keselamatan. Namun, lebih menyedihkan lagi, kedegilan juga telah membuat mereka menjauhkan sesamanya dari anugerah Allah.
Kiranya Roh Kudus menuntun kita, melembutkan hati kita agar hidup kita berkenan di hadapan-Nya, dan kita tetap taat sampai kedatangan Tuhan Yesus.

Penulis

