(Renungan dari Bacaan: Ibrani 6:10-20; Mrk. 2:23-28)
Setiap manusia memiliki naluri dan keinginan untuk hidup sukses dan bahagia. Kesuksesan dan pencapaian yang diraih seseorang membuat ia memiliki prestasi dan kebanggaan tersendiri dalam hidupnya. Tentu saja hal ini memicu terciptanya persaingan antar setiap manusia dalam usahanya untuk mencapai kesusesan dalam pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Persaingan ini merupakan suatu yang lumrah asalkan dilakukan secara sehat. Akan tetapi, jika dalam persaingan tersebut terjadi saling menjatuhkan, saling menjegal, saling menjelekkan, dan saling menguasai satu sama lain, bahkan sampai menjurus kepada tindakan kriminal dan melawan hukum, maka persaingan tersebut menjadi tidak sehat dan malah menciptakan hal yang bersifat destruktif atau menghancurkan.
Sifat manusia memang sangat sulit ditebak. Ada yang bisa dan mampu bersaing secara sehat, dan ada yang bersaing untuk merebut kepemimpinan karena ingin berkuasa atau menguasai yang lain. Keinginan untuk menguasai inilah yang menyebabkan moralitas jatuh pada posisi di mana seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan dan tujuannya, bahkan sampai mengorbankan dan menelikung orang lain dengan memanfaatkan uang, jabatan, kekuasaan, kekuatan, dan bekingan orang-orang yang berada dalam lingkaran pertemanannya. Sama seperti yang dikatakan oleh Voltaire, filsuf Perancis, bahwa sungguh disayangkan, untuk menjadi patriot yang baik, seseorang harus menjadi musuh umat manusia lainnya.
Apakah kita semua akan terpengaruh dengan relasi dan lingkaran pertemanan yang dipenuhi dengan intrik politik dan keinginan untuk saling menguasai satu sama lain? Tentu saja lewat semua ini Tuhan mengajak kita melihat semua itu sebagai tantangan dan peluang untuk menjadi pribadi yang berani berbeda dari yang lain dan tidak gila kekuasaan. Kita diajak untuk percaya dan mengakui bahwa Tuhan sungguh adil dan Dia yang berkuasa atas hidup kita.
Apakah yang dapat kita lakukan agar kita dapat bersaing secara sehat dengan orang lain dalam tugas dan tanggung jawab kita? Bacaan Pertama mengajak kita untuk memiliki kesungguhan dan keteguhan hati. “Sebab Allah bukan tidak adil, sehingga Ia lupa akan pekerjaanmu dan kasihmu yang kamu tunjukkan demi nama-Nya dengan melayni orang-orang kudus, seperti yang terus kamu lakukan. Tetapi, kami ingin, supaya kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan yang sama untuk mewujudkan kepastian pengharapanmu sampai akhir, agar kamu jangan menjadi lamban, melainkan meneladani mereka yang oleh iman dan kesabaran mewarisi janji-janji itu” (Ibr. 6:10-12). Kita harus tetap melakukan yang terbaik dalam tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada kita, serta menunjukkan kualitas dan kemampun kita dalam bekerja. Percayalah bahwa Tuhan pasti akan mempercayakan perkara yang lebih besar asal kita menunjukkan diri dapat dipercaya pada perkara kecil. ” Anak Manusia adalah Tuan juga atas hari Sabat” (Mrk 2:28), jadi Ia juga berkuasa atas setiap masalah dan pergumulan hidup kita. Tuhan berkuasa mengangkat kita ke posisi yang lebih baik dari sebelumnya.
Janji Tuhan inilah yang membuat kita mampu melangkah dengan iman yang teguh dalam menghadapi persaingan, meski seringkali tindakan kita mendapat tentangan dari rekan kerja karena kita berani berbeda dari mereka. Kiranya Tuhan senantiasa mampukan dan menjadikan kita pribadi yang percaya bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya. Hanya Dialah yang sanggup mengangkat dan mempercayakan perkara yang lebih besar kepada kita. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik dalam tugas dan tanggung jawab yang Tuhan percayakan kepada kita sesuai kapasitas kita. Segala kemuliaan hanya bagi Nama-Nya. Amin.

Penulis

