Anak Manusia adalah Tuhan atas Hari Sabat ( 6 September 2025 )

Renungan hari ini dari bacaan Kolose 1:21-23; Lukas 6:1-5. “Sekarang Ia telah memperdamaikan kembali kamu oleh kematian Kristus pada tubuh insani-Nya, supaya kamu kudus dan tak bercacat dan tak bercela di hadapan-Nya. Sebab itu kamu harus bertekun dalam imanmu, tetap teguh dan tak tergoyahkan, dan jangan sampai kamu berpaling dari pengharapan yang diberitakan dalam Injil, yang sudah kamu dengar dan yang telah disiarkan di seluruh dunia dan yang aku, Paulus, layani sebagai pelayan.” (Kolose 1:22-23)

Hidup manusia tidak pernah lepas dari aturan,  baik aturan sosial, moral, maupun rohani. Namun, pertanyaannya adalah apakah aturan itu membuat kita semakin merasakan kebebasan yang sesungguhnya atau justru membuat kita merasa terkungkung atau terpenjara?

Dalam Lukas 6:1–5, Yesus dan para murid-Nya sedang berjalan di ladang pada hari Sabat. Ketika murid-murid memetik dan memakan bulir gandum, orang-orang Farisi segera menghakimi: “Mengapa mereka melakukan yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?”

Namun, Yesus menjawab mereka dengan menyatakan bahwa “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” Pernyataan ini menegaskan bahwa Yesus memiliki otoritas penuh atas hukum Sabat, dan lebih dari itu, Ia mengungkapkan makna terdalam dari hukum itu sendiri.

Di sinilah kita memahami satu prinsip besar: hukum Allah tidak diberikan untuk membelenggu manusia, melainkan untuk memerdekakan  atau membebaskannya. Hukum Sabat bukanlah beban yang mematikan, melainkan sebuah jeda ilahi yang memulihkan. Ketika Allah sendiri “beristirahat” pada hari ketujuh (Kejadian 2:2-3), hal itu Ia buat bukan karena Ia lelah, tetapi karena Ia menetapkan pola ilahi untuk ciptaan-Nya: istirahat adalah bagian dari kehidupan yang kudus.

Lebih dalam lagi, penetapan Sabat oleh Allah menunjukkan bahwa Allah sendiri tidak diperbudak oleh pekerjaan atau kuasa-Nya. Ia berhenti bekerja bukan karena harus, tetapi karena Ia bebas. Ini adalah tindakan ilahi yang agung: Allah tidak dikuasai oleh kuasa-Nya sendiri. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan tidak harus selalu ditunjukkan dalam aktivitas, tetapi juga dalam pengendalian diri, ketenangan, dan kasih.

Demikian pula halnya dengan kita. Dalam Kolose 1:21–23, Paulus mengingatkan bahwa kita dahulu terasing dari Allah, namun sekarang telah diperdamaikan melalui kematian Kristus. Kita dipanggil untuk hidup dalam iman, bukan dalam ketakutan terhadap hukum. Maka ketika kita mengikuti perintah-perintah Allah, kita tidak sedang memenuhi kewajiban yang menekan, melainkan sedang menanggapi kasih yang memerdekakan.

Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat. Ia mengembalikan makna Sabat sebagai berkat, bukan beban. Dalam penetapan Sabat, Allah menunjukkan bahwa Dia tidak dikendalikan oleh kekuasaan-Nya, dan bahwa kasih selalu lebih utama daripada sekadar ketaatan buta. Maka, setiap hukum Tuhan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati di dalam Kristus, bukan untuk membatasi kita, melainkan untuk menyembuhkan, memulihkan, dan memerdekakan. Amin.

Penulis


Editor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *