(Renungan dari Bacaan: Ibrani 5 : 1 – 10; Mark 2 : 18 – 22)
Imam, panggilan, dan akhirnya cocok. Itulah kata yang muncul ketika merenungkan isi tulisan ini. Pertama-tama sekelibat saya teringat Imam Besar Masjid Istiqlal ketika membaca Ibr.5:1-10. Lalu saya ingat para imam, religius, dan para Uskup (Agung). Kata terakhir perikop ini membuatku terpana, peraturan Melkisedek. Apa itu? Bila mencari di Kitab Suci, akan ditemukan 12 kata Melkisedek. Ada dua di Perjanjian Lama (Kej. 14:18, Mzm. 110:4), dan sepuluh di Surat Ibrani (Ibr. 5:6, 10: 6:20; 7:1,2,6, 10,11, 15,17) . Ketika mencari bantuan di dunia maya tentang peraturan Melkisedek, saya menemukan itu berarti bukan keturunan, bukan karena hubungan kekerabatan, bukan pula pilihan manusia atau ukuran yang sesuai dengan manusia, melainkan dipanggil Allah. Unsur-unsur pokoknya ketaatan, mempersembahkan diri, dan tidak memuliakan diri sendiri. Apakah aku mau taat? Apakah aku mau mempersembahkan diriku? Apakah aku memilih memuliakan Allah daripada diri sendiri?
Apakah setiap orang mau menjadi imam? Yang saya tahu pasti adalah banyak orang ingin menjadi orang yang terkenal, populer, kaya, menjadi ini dan itu. Ada juga yang tidak jelas ingin menjadi apa. Ini adalah urusan panggilan. Saya memanggil atau saya dipanggil. Seberapa banyak saya memanggil dan saya dijawab? Seberapa banyak saya dipanggil dan saya menjawab? Menjadi imam, seperti juga yang lain sebenarnya urusan panggilan. Saya merasa dipanggil apa dan saya menjawabnya. Ada orang yang sampai akhir hayatnya tidak mengenal apa panggilannya, sehingga tidak pernah mengalami kedamaian, ketenangan dalam dirinya. Ada yang sejak dini, sudah mengenali panggilan hidupnya dan menghidupnya. Kita menemukan banyak contoh di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, misalnya yang paling jelas Yohanes Pembaptis dan Yesus. Zaman kini kita mengenal panggilan hidup membiara dan panggilan profesional masing-masing di antara kita. Apakah kita menjalaninya dengan taat? Apakah hal itu menjadi ungkapan persembahan diri, untuk memuliakan Allah dan bukan untuk kemuliaan diri kita sendiri? Bahkan menjadi petugas kebersihan pun merupakan suatu panggilan yang menjadi jalan untuk memuliakan Allah. Maukah aku mendengarkan panggilanku dan mengikutinya?
Ketika membaca dan merenungkan perikop Mrk. 2:18-22, kata pertama yang muncul adalah mengenai ketuaan dan kebaruan. Kantung baru untuk anggur baru, kantung tua untuk anggur tua. Selanjutnya kata cocok yang muncul. Ketika saya menanggapi panggilanku, saya perlu mencocokkan diri ke dalam syarat dan kondisi panggilan itu. Lalu, pertanyaan yang muncul adalah apakah saya bersedia, rela, dan berkomitmen masuk dan mencocokkan diri di dalam syarat dan kondisi panggilan yang dinamis sifatnya. Situasi manusiawi yang nyata adalah setiap kondisi berubah. Maukah aku terbuka terhadap perubahan sebagai suatu yang permanen dalam hidup ini?
Bersama dengan seluruh teman-teman saya berdoa agar Allah memberikan rahmat-Nya yang membuatku semakin terbuka terhadap panggilanku, menerima dan mengelola perubahan sebagai komitmen memenuhi panggilanku untuk semakin memuliakan Allah dengan setia dan penuh suka cita. Amin. Iskandar Leman

Penulis

