Kesesatan Di Balik Pelaksanaan Adat Istiadat Nenek Moyang (11 Februari 2025)

Renungan Dari Bacaan Kejadian 1 : 20 – 2 : 4a dan Markus 7 : 1 – 13
Ayat     : Markus 7: 6b – 7
“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, karena ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia” (Mrk. 7:6b-7)

Yesus ditegur oleh orang Farisi dan Ahli Taurat karena murid-muridnya berbuat sesuatu yang dianggap membuat diri mereka menjadi najis (unclean), yaitu makan dengan tidak mencuci tangan terlebih dulu, padahal orang Yahudi sangat menjaga kesucian. Para murid dianggap melanggar “adat istiadat nenek moyang.” Kata adat-istiadat berasal dari bahasa Yunani paradosis presbuteros. Jadi ini bukanlah sekadar adat istiadat yang lahir dari budaya kesukuan biasa, tetapi tradisi suci yang telah ditetapkan oleh para pemimpin rohani. Tradisi ini bisa dikatakan lahir dari penafsiran atas perintah Allah dalam Kitab Suci (Kel. 30:19-21), sebuah perintah bagi para imam untuk membasuh tangan dan kaki mereka sebelum melakukan ibadah (berwudu).

Tradisi mencuci tangan ini adalah sebuah aturan yang lahir dari sebuah semangat untuk menjaga Taurat itu sendiri. Para pemimpin umat saat itu biasa membuat aturan-aturan tambahan untuk memagari Taurat (seyag latorah) dengan tujuan agar umat tidak secara langsung melanggar Taurat yang telah tertulis dalam Kitab Suci. Jadi dalam praktik agama Yahudi, ada Taurat yang tertulis (Kitab Suci) dan ada juga Taurat lisan (Tradisi).

Namun, Yesus menegur mereka dengan sangat tajam, dan mengutip kata-kata nabi Yesaya. Yesus bukan sedang mengkritik praktik tradisi, tetapi mencela kemunafikan ahli Taurat dan orang Farisi. Orang-orang yang merasa paling pintar soal agama, yang perilakunya seperti penjaga pintu surga, yang merasa berhak menegur, atau menyatakan seseorang sesat serta layak dikutuk. Tetapi, sebenarnya yang mereka bela bukanlah Allah, melainkan prinsip dan pemahaman mereka sendiri.

Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat itu berpikir ritual agama seperti berwudu itu sangat penting. Yesus menjawab bahwa cara berpikir mereka itu salah. Allah tidak disenangkan oleh ritual ibadah manusia. Manusia yang agamawi cenderung berpikir bahwa Allah cukup disenangkan ketika umat-Nya datang beribadah, menaikkan pujian atau memberikan persembahan. Padahal Allah tidak bisa disenangkan dengan kesucian lahiriah, seperti ritual membasuh tangan, pantang makanan tertentu atau cara berpakaian tertentu. Allah melihat jauh ke kedalaman hati manusia yang terdalam. Kesalehan batiniah itulah yang utama.

Orang yang agamawi menggunakan Allah atau ibadah sebagai dalih, untuk menghindari kewajiban mereka menolong sesama. Mereka merasa cukuplah beramal di gereja agar Allah senang dan sebagai gantinya umat mendapatkan berkat-berkat-Nya. Tetapi, hati mereka tidak tersentuh oleh kesusahan tetangga, sanak-keluarga, bahkan merasa tidak perlu lagi merawat orang tua. Mereka merasa sudah cukup berderma di gereja. Yesus berkata bahwa orang-orang seperti ini adalah orang yang bermuka dua, mereka hidup dalam dua dunia seperti seorang pemain sandiwara. Berperan sebagai seorang saleh, padahal hati mereka penuh kepura-puraan.

Allah ingin mencium aroma persembahan dari hati yang suci dan belas kasih terhadap sesama. Masalahnya, kesucian hati tidak dihasilkan dari ritual agama secara lahiriah, seperti pembasuhan diri atau liturgi agama lainnya. Namun, kesucian itu lahir dari perjuangan sehari demi sehari untuk menjaga perasaan Allah dalam setiap perkataan, pikiran, dan perbuatan kita terhadap sesama manusia. Itulah ibadah yang sejati, persembahan yang menyentuh hati Allah. Jika kita beribadah kepada Allah seharusnya hati kita melekat kepada Allah. Bukan hanya sekadar kedekatan fisik, seperti kehadiran di rumah ibadah atau kurban persembahan berupa bersedekah di gereja.

Ketika hati kita datang dan mendekat kepada Allah, seharusnya hal itu tampak dan dirasakan oleh orang-orang di sekeliling kita. Karena semakin kita melekat pada Allah, seharusnya terjadi perubahan dalam cara kita berpikir dan memperlakukan orang lain. Semakin kita mengasihi Allah, maka kita semakin mengasihi sesama. Bukan sebaliknya, mati rasa dan tidak peduli terhadap sesama, atau penuh kritik dan penghakiman pada sebuah perbedaan.

Orang yang melekat pada Allah akan semakin sepikiran dan seperasaan dengan Allah, sehingga dapat melihat sesama dengan mata dan belas kasih Allah. Memandang orang lain sebagaimana Allah memandang mereka, dan memperlakukan sesama sebagaimana yang Allah kehendaki.

Penulis

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *