Renungan hari ini dari bacaan 1Timotius 1:15-17; Lukas 6:43-49. “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak tampak dan yang esa!” (1Tim 1:17) |
Hormat adalah fondasi yang sangat penting dalam kehidupan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan rohani. Dalam kehidupan rohani hormat diberikan terutama dalam hubungan kita dengan Tuhan. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan hormat yang sesungguhnya? Apakah hanya sekadar tindakan ritual yang rutin kita lakukan? Ataukah lebih dari itu, yakni sebuah pengakuan yang dalam atas kebesaran dan kasih Tuhan?
Paulus dalam suratnya kepada Timotius menulis, “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa” (1Tim.1:15). Ia bahkan menyebut dirinya “yang paling berdosa” di antara semua orang. Hal ini bukan untuk merendahkan diri, melainkan untuk menunjukkan betapa besar kasih karunia Allah yang mampu mengubah hidup seseorang, bahkan seorang yang dahulu memusuhi Kristus. Hormat yang sesungguhnya berarti pengakuan penuh terhadap anugerah Tuhan yang mengampuni dan mengasihi tanpa batas.
Tuhan Yesus dalam Lukas 6:43-49 menggunakan gambaran pohon dan buah untuk menjelaskan bagaimana hidup seseorang mencerminkan isi hatinya. “Setiap pohon dikenal dari buahnya,” Orang yang sungguh-sungguh menghormati Tuhan dan mengasihi-Nya akan menghasilkan buah perbuatan baik dari pertobatannya, yakni hidup yang mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Sebaliknya, jika sikap hormatnya hanya sekadar tampilan luar tanpa pertobatan yang sesungguhnya, buah yang dihasilkan juga akan buruk. Kenyataan ini menegaskan bahwa hormat tidak bisa lahir hanya dari tindakan lahiriah, melainkan harus berasal dari hati yang terdalam, yang terhubung dan taat kepada firman Tuhan. Hormat yang sesungguhnya juga berarti hidup dalam ketaatan yang nyata.
Yesus menutup pengajarannya dengan perumpamaan tentang rumah yang dibangun di atas batu. Orang yang mendengar dan melakukan firman-Nya diibaratkan seperti rumah yang kokoh, tahan terhadap segala badai dan tantangan hidup. Sebaliknya, orang yang hanya mendengar firman tanpa melaksanakan diibaratkan seperti rumah yang rapuh dan mudah roboh. Perumpamaan ini menegaskan bahwa hormat yang sesungguhnya kepada Tuhan tidak cukup hanya dengan mendengar firman atau menjalankan ritual saja, tetapi harus disertai dengan tindakan nyata yang konsisten.
Ketika kita memiliki hormat kepada Tuhan, kita akan merespon kasih karunia-Nya dengan hidup penuh syukur, pengabdian, dan ketaatan. Kita tidak lagi hidup hanya berdasarkan ketakutan akan hukuman, melainkan didorong oleh kasih dan penghargaan atas penyelamatan yang telah Tuhan berikan. Sikap hormat ini membentuk karakter kita, mengarahkan setiap langkah kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Lebih dari itu, hormat kepada Tuhan juga membawa dampak dalam hubungan kita dengan sesama. Sebab, buah dari hormat itu adalah kasih yang nyata, kejujuran, kerendahan hati, dan pelayanan. Ketika kita sungguh-sungguh menghormati Tuhan, kita juga akan menghargai ciptaan-Nya dan memperlakukan sesama dengan kasih dan hormat.
Sikap hormat yang sesungguhnya adalah sebuah panggilan bagi setiap orang percaya untuk menjalani hidup yang bukan hanya berfokus pada ritual lahiriah, tetapi menghayati setiap ajaran Tuhan dalam hati dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan menghasilkan buah yang baik.
Penulis

