Menjadi Tanah yang Baik dan Subur (29 Januari 2025)

(Renungan dari Bacaan : Ibrani 10: 11 – 18, Markus 4: 1 – 20)
“Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka” (Ibr.10:16)

Perumpamaan dalam Bahasa Indonesia mengandung makna susunan kata-kata indah, ringkas, dan kemas serta memiliki maksud tertentu. Biasanya dimulai dengan kata bagai, ibarat, laksana, dan seperti. Sebagai contoh, bagai menimba air dengan keranjang. Maksudnya, segala usaha yang dikerjakan dengan cara yang tidak sesuai akan sia-sia.

Injil Markus 4:1-20 berbicara tentang perumpamaan tentang seorang penabur. Perumpamaan ini mengajarkan kita tentang cara mendengarkan Firman Tuhan dengan baik, yakni menerima dengan hati terbuka dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari sehingga menghasilkan buah. Supaya dapat menghasilkan buah, benih yang melambangkan firman Allah harus jatuh pada tanah yang subur. Tanah melambangkan kondisi hati kita. Markus menunjukkan empat jenis kondisi hati:Pertama, benih yang jatuh di tanah di pinggir jalan. Benih yang demikian ini menggambarkan orang yang mendengar firman Allah tetapi firman itu tidak berpengaruh sedikitnya dalam hati dan kehidupannya. Firman itu berlalu begitu saja, dan orang itu tetap tidak percaya dan masih mengandalkan dan menggunakan kekuatannya sendiri.Kedua, benih yang jatuh di tanah berbatu, yang menggambarkan orang yang menerima firman Allah dengan gembira dan percaya tetapi tidak melaksanakan. Ketika datang masalah atau kesulitan dalam hidupnya dengan cepat ia meninggalkan Tuhan.Ketiga, benih yang jatuh di tengah semak duri, yang menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan, merenungkannya, dan berusaha melaksanakannya. Namun, ada hal yang membuat benih itu tidak berbuah, yaitu kekawatiran dunia saat ini. Ia ingin mengejar kekayaaan dan tawaran kenikmatan dunia yang terus menerus membuat firman Allah tidak lagi menjadi pelita dalam hidupnya. Keempat, benih yang jatuh di tanah yang subur menggambarkan orang yang berusaha memahami, menyimpan dalam hati serta melaksanakannya. Hal ini tampak dalam sikap, perilaku, kata-kata, serta tindakan nyata yang ditunjukkan melalui kasih terhadap sesama.

Perumpamaan tentang benih dan penabur, serta perumpamaan “bagai menimba air dengan keranjang”, mengundang saya bertanya, apakah firman yang sudah ditaburkan dalam diri saya sia-sia selama ini. Mengapa? Apakah cara yang saya tempuh untuk menumbuhkannya keliru? Saya teringat akan usaha saya dalam menyelesaikan studi. Begitu banyak hambatan yang saya hadapi hingga saya merasa seperti benih yang dihimpit oleh semak duri. Prinsip yang selalu saya pegang ialah: belajar dan belajar sehingga bisa selesai secepat mungkin. Saya hanya mengandalkan kekuatan dan kepandaian diri saya. Memang untuk bisa bertumbuh, benih itu memerlukan tanah yang subur. Namun, saya tidak boleh lupa ia bertumbuh karena ada Yang Maha Kuasa yang menumbuhkannya. Selain menyediakan diri sebagai tanah yang subur, saya tetap perlu menyandarkan diri pada Allah yang berkuasa menumbuhkan benih yang sudah ditaburkan dalam diri saya. Hanya dalam kesadaran untuk bekerja sama dengan Allah, hasil maksimal bisa saya raih dan saya terbebas dari keputusasaan sebagai pohon yang mandul.

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *