Merespons Klaim Keilahian Kristus (11 April 2025)

Renungan dari Bacaan Yeremia 20:10-13 dan Yohanes 10:31-42
“tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.”-ayat emas (Yohanes 10:38)

Renungan dari Injil Yohanes 10:31-42 ini membawa kita pada sebuah persimpangan dalam memahami sosok Yesus Kristus dan respons manusia terhadap klaim keilahian-Nya. Peristiwa di mana orang-orang Yahudi kembali mengambil batu untuk melempari Yesus adalah manifestasi dari penolakan yang mendalam, bukan atas tindakan buruk, melainkan justru atas pekerjaan-pekerjaan baik yang telah Ia lakukan. Ini adalah ironi yang pedih, sebuah cerminan bagaimana kebaikan dan kebenaran ilahi sering kali disalahpahami dan ditanggapi dengan permusuhan oleh hati yang tertutup.

Yesus, dengan tenang dan penuh otoritas, menantang mereka untuk mengidentifikasi satu pun pekerjaan baik yang Ia lakukan sebagai alasan kemarahan mereka. Pertanyaan-Nya bukan sekadar retoris, melainkan sebuah undangan untuk refleksi yang jujur. Namun, jawaban mereka justru mengungkapkan akar permasalahan yang sesungguhnya: bukan perbuatan, melainkan identitas diri Yesus yang mereka tolak mentah-mentah. Mereka menuduh-Nya menghujat Allah karena Ia, sebagai seorang manusia, menyamakan diri-Nya dengan Allah. Tuduhan ini bukanlah kesalahpahaman semata; ini adalah penolakan fundamental terhadap klaim keilahian Yesus, sebuah klaim yang menjadi inti dari misi dan keberadaan-Nya.

Dalam respons-Nya, Yesus dengan cerdik merujuk pada Mazmur 82:6, “Aku telah berfirman: Kamu adalah allah.” Kutipan ini, yang merujuk kepada para hakim dan pemimpin Israel yang diberi otoritas oleh Allah, digunakan Yesus untuk menunjukkan bahwa Kitab Suci sendiri menggunakan istilah “allah” dalam konteks manusia yang menerima firman dan mewakili Allah. Jika mereka yang menerima firman Allah dapat disebut “allah,” apalagi Ia yang dikuduskan dan diutus oleh Bapa ke dalam dunia, yang secara unik adalah Anak Allah? Argumen Yesus bukan untuk menyamakan diri-Nya dengan Allah Bapa dalam esensi, melainkan untuk menunjukkan bahwa klaim-Nya sebagai Anak Allah memiliki dasar dalam pemahaman yang lebih luas tentang hubungan antara Allah dan manusia seperti yang tertulis dalam Kitab Suci mereka sendiri.

Yesus kemudian mengalihkan fokus kembali pada pekerjaan-pekerjaan-Nya. Ia menawarkan sebuah ujian yang sederhana namun mendalam: jika Ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Nya, maka mereka tidak perlu percaya kepada-Nya. Namun, jika Ia melakukannya, dan mereka tetap tidak mau percaya pada perkataan-Nya, setidaknya mereka harus percaya pada pekerjaan-pekerjaan itu sendiri. Pekerjaan-pekerjaan mukjizat dan kasih yang Ia lakukan adalah bukti nyata dari kehadiran dan kuasa Allah di dalam diri-Nya. Tujuan-Nya adalah agar mereka dapat “mengetahui dan mengerti” bahwa Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa – sebuah kesatuan yang mendalam dan tak terpisahkan.

Namun, respons orang-orang Yahudi tetap keras kepala. Alih-alih membuka hati dan pikiran mereka terhadap logika dan bukti yang Yesus tawarkan, mereka sekali lagi mencoba untuk menangkap-Nya. Tindakan ini menunjukkan kedegilan hati dan penolakan yang irasional terhadap kebenaran yang sedang berdiri di hadapan mereka. Mereka lebih memilih untuk mempertahankan keyakinan dan prasangka mereka daripada menerima kemungkinan bahwa Yesus adalah seperti yang Ia klaim.

Setelah lolos dari upaya penangkapan tersebut, Yesus kembali ke seberang Yordan, ke tempat di mana Yohanes Pembaptis pernah melayani. Di sana, Ia disambut oleh banyak orang yang memiliki keterbukaan hati yang berbeda. Mereka mengingat kesaksian Yohanes tentang Yesus, yang meskipun tidak melakukan mukjizat, namun semua perkataannya tentang Yesus terbukti benar. Ini adalah pengakuan yang kuat akan otoritas profetik Yohanes dan kebenaran klaim Yesus. Hasilnya adalah banyak orang di tempat itu percaya kepada-Nya.

Kisah ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi kita hari ini. Pertama, sering kali penolakan terhadap kebenaran tidak didasarkan pada kurangnya bukti, melainkan pada prasangka dan ketidakmauan untuk mengubah pandangan yang sudah mapan. Orang-orang Yahudi tidak menolak Yesus karena Ia melakukan kejahatan, tetapi karena klaim-Nya menantang otoritas dan pemahaman teologis mereka.

Kedua, pekerjaan-pekerjaan baik dan mukjizat Yesus adalah saksi yang kuat akan keilahian-Nya. Tindakan kasih, penyembuhan, dan kuasa-Nya adalah manifestasi nyata dari kehadiran Allah di tengah-tengah manusia. Kita pun dipanggil untuk melihat lebih dari sekadar perkataan Yesus, tetapi juga pada tindakan-tindakan-Nya yang penuh kasih dan kuasa.

Ketiga, respons yang berbeda dari orang-orang di seberang Yordan menunjukkan pentingnya keterbukaan hati dan pikiran. Mereka tidak terpaku pada tradisi atau prasangka, tetapi bersedia mempertimbangkan kesaksian Yohanes dan melihat sendiri siapa Yesus sebenarnya. Keterbukaan inilah yang membawa mereka pada iman.

Akhirnya, kisah ini mengingatkan kita bahwa Yesus Kristus adalah sosok yang menuntut respons. Kita tidak bisa bersikap netral terhadap klaim-Nya. Kita dihadapkan pada pilihan: menerima-Nya sebagai Anak Allah, yang diutus oleh Bapa, atau menolak-Nya dan konsekuensi dari penolakan itu. Kiranya kita memiliki hati yang terbuka dan mata yang melihat, sehingga kita dapat mengenali kebenaran dan percaya kepada-Nya melalui perkataan dan perbuatan-Nya.

Penulis

satu Respon

  1. Disebutkan bahwa kita beriman ,karena Tuhanlah yang memberikannya pada kita terlebih dahulu. Apakah dalam diri mereka yang menolak Tuhan mentah2 ini Tuhan memberikan panggilan-Nya kurang kuat, hingga mereka bisa sedegil ini hatinya ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *