Hidup dalam Kasih dan Pelayanan yang Tulus ( 4 November 2025 )

Renungan hari ini dari bacaan Roma 12:5-16ª; Lukas 14:15-24.“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” (Rm.12:9)

Setiap orang diciptakan unik oleh Allah. Kita diberi karunia, kemampuan, dan peran yang berbeda-beda dalam hidup. Namun, semuanya berasal dari satu sumber, yaitu kasih karunia Allah sendiri. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengingatkan bahwa walaupun kita banyak, kita semua adalah satu tubuh di dalam Kristus. Artinya, setiap orang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk saling melengkapi dan membangun tubuh Kristus melalui pelayanan yang tulus dan kasih yang nyata.

            Hidup dalam kasih bukan sekadar berbicara lembut atau menolong sesama sesekali. Kasih sejati adalah sikap hati yang jujur dan tanpa pamrih. Paulus berkata, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” (Rm. 12:9). Kasih yang tulus tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak bersyarat, dan tidak menunggu balasan. Dalam kehidupan sehari-hari, kasih itu tampak ketika kita rela menolong tanpa dilihat orang, memberi tanpa mengharapkan pujian, dan mengampuni meski hati kita disakiti.

            Pelayanan yang tulus lahir dari kasih yang sejati. Orang yang melayani dengan tulus tidak mengukur pelayanannya dari besar kecilnya penghargaan yang diterima, melainkan dari kerelaan hatinya untuk memberi yang terbaik bagi Tuhan dan sesama. Paulus menegaskan, siapa yang memiliki karunia melayani, hendaklah ia melayani dengan sepenuh hati; siapa yang mengajar, hendaklah ia mengajar dengan kesungguhan; siapa yang menasihati, hendaklah ia menasihati dengan penuh kasih. Semua karunia itu akan menjadi berkat jika dilakukan dengan sukacita dan ketulusan.

            Bacaan Injil hari ini (Lukas 14:15–24) juga menegaskan pentingnya hati yang terbuka dalam menanggapi undangan Allah. Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang tuan yang mengadakan perjamuan besar. Banyak orang yang diundang, tetapi mereka menolak dengan berbagai alasan: ada yang sibuk dengan ladangnya, ada yang sedang mencoba lembu, dan ada yang baru menikah. Karena penolakan itu, sang tuan akhirnya mengundang orang miskin, buta, dan lumpuh, mereka yang sering diabaikan dunia.

            Perumpamaan ini menunjukkan bahwa Allah senantiasa mengundang kita untuk masuk dalam “perjamuan kasih-Nya,” yaitu hidup dalam persatuan dan pelayanan. Namun, sering kali manusia lebih memilih kesibukan, kenyamanan, dan urusannya sendiri daripada menanggapi undangan Tuhan. Kita menunda untuk melayani, menolak kesempatan berbuat baik, atau enggan berbagi kasih karena takut kehilangan waktu atau tenaga. Padahal, Tuhan hanya meminta hati yang mau datang dan melayani dengan ikhlas.

            Melayani dengan tulus bukan berarti kita harus melakukan hal-hal besar. Kadang, pelayanan yang paling berharga justru muncul dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan kasih besar: menyapa dengan ramah, membantu tanpa diminta, atau berdoa bagi orang yang sedang menderita. Ketulusan hati dalam hal kecil menjadi wujud nyata dari kasih Allah yang bekerja di dalam diri kita.

            Marilah kita belajar untuk hidup dalam kasih dan pelayanan yang tulus. Gunakan karunia yang Allah berikan bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk menjadi berkat bagi orang lain. Jangan biarkan kesibukan dunia membuat kita menolak undangan Tuhan. Sebaliknya, bukalah hati, tanggapi panggilan-Nya, dan jadikan setiap tindakan kita sebagai ungkapan kasih kepada Allah dan sesama. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi perjamuan kasih yang menyenangkan hati Tuhan.

Penulis
Bible Learning Loving The Truth

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *